16. Sadar.

35 2 0
                                    

Petir menyabar diluar ketika aku meneguk air dalam gelas kaca. Gelas itu jatuh dan pecah. Oh, sialnya aku. Malah Bi Inah sudah tidur. Hujan lebat menguyur bumi diluar, ini membuat suasana rumahku menjadi horror. Ah, rumah ini memang selalu horror meski tak hujan seperti ini. Pertengkaran Ibu dengan Fanya, Fanya denganku. Aku lelah memikirkan hal itu.

Aku mendengar suara pintu terbuka. Walau dapur jauh dari ruang tamu, tapi sekarang tengah malam dan tidak ada orang jadi sedikit suara saja akan terdengar menggema didalam rumah ini.

Petir yang entah keberapa itu menyambar ketika sesosok laki laki masuk kedalam rumah bersama Fanya. Sudah lama aku tidak memakai embel embel Kak.

"Fan? Lo.." Aku menekan saklar lampu, dan..

Aku melihat mereka. Berantakan sekali. Fanya dengan bajunya yang.. dan laki laki itu dengan bajunya yang keadaannya tak jauh dari Fanya.

"Lo?! Bocah?! Lo.." Fanya menarik rambutku dan mendorongku sampai menabrak dinding.

"Awas aja lo kasih tau Ibu dan Ayah! Gue pastiin lo abis!" Aku mengerang, sepertinya rambutku akan rontok bila begini terus.

"Fanya!" Aku bisa mendengar suara menggelegar Ayah. Air mataku jatuh, ini akting? tidak juga.

Fanya langsung menjauhkan dirinya dariku, dan laki laki yang sedari tadi diam itu terlihat menegang.

"Aa.. yah.." Ayah menuruni anak tangan perlahan lahan. Matanya berapi api.

"Li.. lihat Ayah! Tiffany anak kesayanganmu ini pulang kerumah membawa laki laki!" Kenapa jadi aku?

"Kamu fikir Ayah t*l*l Fanya?! Kamu pulang tengah malam dengan keadaan basah dan berantakan, sedangkan adikmu memakai piyama. Sebodoh apa Ayah?! Kenapa kamu pulang tengah malam?! Dan siapa laki laki itu?! Jawab!" Aku bisa melihat kaki Fanya bergetar. Air matanya mengalir. Ibu merangkulku dan memanggil Bi Inah untuk membuatkanku coklat hangat.

"Arghhhh..!" Fanya berteriak, ia menggeram berkali kali sambil menjabak rambutnya sendiri. Sudah gila rupanya.

"Ayah menunggu jawabanmu Fanya!" Ayah menggertak lagi. Tapi Fanya malah tertawa, dasar gila. Fanya tertawa keras sambil menangis. Akhirnya tubuhnya jatuh kelantai. Laki laki itu masih diam tak bergeming di depan pintu.

"Hahahaha, Iya! Lo t*l*l! Hahaha, dia pacar gue! Sam! Hahaha, gue emang pulang malem sama dia! Gue emang udah ngelakuin itu! Dan gue mau dapet harta lo buat beliin dia semuanya! Hahaha, lo Ayah terbeg* yang pernah ada Hahaha." Fanya terus tertawa sambil menendang meja dan kursi ruang tamu. Ia menjambak rambutnya sendiri. Ayah terlihat lebih marah, Ayah terduduk dikursi. Ia terlihat sangat terluka dan penuh amarah. Bagaimana tidak? Anak kandungnya sendiri sudah berkata kata kasar dan kurang ajar.

"Fanya!" Fanya terus tertawa sambil menangis dan mengerang. Aku fikir dia benar benar gila.

Fanya berhenti, ia bangkit dan mengambil kunci mobilnya lalu berlari sambil menggandeng tangan pacarnya. Ia keluar dari rumah. Ayah terus saja meneriakinya tapi ia tidak berhenti.

Sekarang bukan petir dalam hujan lagi yang membuatku takut, tapi petir dalam hati Ayah. Ayah bergegas mengganti baju dan mengajak Ibu menyusul Fanya.

Ayah menyuruhku dirumah, ia tidak mau aku kurang tidur karena besok sekolah. Aku tidak bisa tidur karena kejadian ini, diluar hujan terus mengguyur bumi tanpa henti. Aku meraih ponselku. Sebuah pesan line dari Ardy, pacarku muncul.

Ardy: Tiff.

Tiffz: Ya Ar?

Ardy: Gue mau jujur sama lo.

Tiffz: Jujur? tentang apa?

Ardy: Gue ga suka sama lo.

Tiffz: Maksud kamu Ar?

Ardy: Gue pacaran sama lo cuma karena Rei nyuruh gue. Awalnya gue ga mau, tapi gue terlalu bego. Maafin gue, gue udah nyakitin lo. Rei mau misahin kalian bertiga. Kita putus Tiff. (read)

Entah kenapa, malam ini aku bukan hanya mendengar, melihat tapi aku merasakan.. aku merasakan petir berada dalam hatiku sekarang. Petir itu menyambar emosiku. Ia menghanguskan hatiku.

Petir yang kudengar adalah petir dalam hujan. Petir yang kulihat adalah amarah Ayah. Petir yang kurasakan adalah patah hati.

Semua petir itu menakutkan, tapi patah hati adalah yang paling menyakitkan. Karena aku merasakan petir itu.

Gue pacaran sama lo cuma karena Rei nyuruh gue.

Rei? Kenapa?

Rei mau misahin kalian bertiga.

Kenapa Rei ngelakuin itu? Drama macam apa ini?

-Pythagoras-

Tania Pov.

"Taniaaa.. ayo bangun sayang. Ini udah jam 6! Kamu harus sekolah Tania!" Kurasakan tangan Mama mengguncang tubuhku.

"Bentar Ma.. Tania ngantuk. Semalem banyak petir. Udah dua hari kaya gitu." Mama membuka gorden jendela.

"Ga ada hubungannya sama petir Tania." Mata mengerejap.

"Ah, Mama.."

"Bangun dan mandi lalu siap siap kesekolah." Mama membuka pintu. "Pulang sekolah, bersihkan kamarmu, banyak sekali barang barang dikamarmu. Masukkan kekardus lalu simpan digudang."

"Astagaa.." Aku mengeluh. Aku mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.

"Taniaaa! cepat turun!" Aku bergerak cepat. Saat aku mengambil tas tiba tiba sebuah pigura jatuh.

"Ah, pecah." Aku mengamati pigura itu baik baik. Ada Tiff, Tere dan Aku. Masa masa indah. Tapi itu sudah berlalu.

Aku mengeluarkan foto dari piguranya. Ada tulisan yang sedikit luntur dibaliknya.

"Meski ada yang memisahkan kita, kenangan kita tidak akan pernah menghilang. Meski kita telah mati, kenangan kita tidak akan pernah mati. Karena cerita hidup ini, kenangan ini, telah tertulis rapih dalam buku kehidupan."

Tes.

Tes.

Airmataku mengalir membasahi pipiku yang sering sekali di sebut bakpao. Kenangan ini, aku tak bisa melupakannya.

"Taniaa! Kamu ngapain sih?! Lama banget?! nanti kamu telat!" Mama berteriak dari bawah.

"Iya Ma.." Aku pergi, Tiff pergi, Tere pergi. Tapi kenangan itu masih disini.

*

PythagorasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang