SB 10

6.9K 257 7
                                    

Handi segera memeriksa tanda vital, tidak lupa dia menelepon ambulans.

"A....." Wina tampak panik.

"Kita bawa bapak ke rumah sakit secepatnya." Putus Handi.

"Han?" Tiba-tiba sopir ambulans yang ia telepon tiba dan langsung menyapa Handi yang memang sudah menunggu dan siap berangkat.

"Tolong, Kang." Pinta Handi pada rekannya itu.

"Iya." Sang sopir langsung membuka ambulans dan membantu Handi segera.

"Aku di ambulans sama bapak, kamu diantar Mang Ata ya." Ujar Handi. Wina langsung menggeleng.

"Nggak, aku pengen deket bapak."

"Ya sudah, ayo." Handi tidak membuang waktu, ia langsung membantu Wina naik ke dalam ambulans.

Sepanjang perjalanan, Handi terus memantau kondisi Feri. Wina berlinang airmata, baru semalam ia berbincang hangat, bahkan Feri sempat bilang ingin segera menimang cucu dari Wina dan Handi saat melihat foto pernikahan putri dan menantunya itu.

Suara sirine yang sebenarnya sering terdengar oleh Wina, pagi ini terasa menyayat hati. Wina tersedu.

"Neng.... ucapkan Allahu ya, bantu bapak biar ikutan." Titah Handi saat mereka kini tengah di rumah sakit. Wina menggeleng. "Neng...."

"Pak....." Lirih Wina tak kuasa menahan segala rasa, terutama takut. Ya takut sesuatu terjadi pada ayahnya itu. Handi merangkul Wina. Meremas pundak itu sekilas. Wina menoleh. Handi pun mengangguk, seolah memberi kode. "Allahu.... Allahu.... Allahu...." Ucap Wina sembari terisak. Handi memijat ujung hidungnya.

"Pak, ikutin Wina ya, Pak." Bisik Handi.

"Allah-hu.... Allah-hu....." Susah payah Feri mengikuti. Handi mengangguk. Kemudian Handi menggantikan Wina yang menangis. Menuntun Feri terus mengingat Allah. Dan saat dua kalimat syahadat lolos terucap, Feri menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang.

"Bapaaaaaaak!?" Pekik Wina histeris. Handi segera menangkap tubuh itu, agar tidak ada airmata Wina yang menetes di atas jasad Feri. "Bapak, A?!" Handi membisu, ia tahu betul rasanya seperti apa. Ia hanya memeluk erat Wina. "A, Bapak."

"Iya." Angguk Handi hampir tanpa suara.

***

Wina tiba di rumahnya. Ada bendera kuning di pagar rumah. Wina menelan saliva. Ia disambut saudara, tetangga juga teman-teman.

"Sabar ya, Win." Nessa memeluk Wina yang masih saja berlinang air mata. Tatapannya kosong.

"Bik, jagain Neng ya?!" Pesan Handi pada Sumi yang menghampiri Wina Nessa juga Handi. "Titip Wina ya?!" Ujar Handi pada Nessa. Nessa mengangguk. Dan setelah memastikan Wina ada yang menjaga. Handi sibuk mengurus jenazah. Dari mulai memandikan, memakaikan kain kafan hingga menyolatkan. Wina syok berat. Bahkan ia tidak peduli siapa yang datang dan siapa yang pamit pergi dari rumahnya.

"Neng, ayo ngaji dan doain Bapak. Cuma itu yang bapak butuhin sekarang." Handi menyodorkan kitab suci Al-Qur'an. Wina patuh, dibacanya ayat demi ayat dengan tetesan air mata. Handi beranjak, ia kembali sibuk mengurusi keperluan pemakaman.

"Mau dikebumikan di mana, Han?" Tanya sopir ambulans yang kini bersiap mengantar jenazah ke pemakaman

"Di TPU kota. Samping ibunya Wina."

"Oke siap, keluarga di ambulans apa di mobil pribadi?"

"Kayaknya cuma aku nanti yang di ambulans. Wina biar sama yang lain di mobil." Ujar Handi. "Mang Ata." Handi memanggil sopir keluarga Wina.

"Iya, A?!" Atau menghampiri.

"Nanti tolong bawa mobil Neng Wina ya."

"Siap, A."

"Han?"

"Mang?" Handi segera menyalami Dadang saat tahu siapa yang datang dan menyapanya barusan. "Bi..." Lalu menyalami Tuti.

"Turut berduka cita. Semoga almarhum diterima iman dan Islamnya." Ucap Dadang.

"Aaminn Yaa Rabbal'alamin. Makasih, Mang, Bi."

"A?! Turun berbela sungkawa." Ujar Isma.

"Makasih, Is."

"Wina mana?" Tanya Tuti.

"Di dalam."

"Kalau gitu Bibi sama Isma masuk dulu." Pamit Tuti sembari menggandeng Isma.

"Iya, Bi." Angguk Handi.

Handi menjadi satu-satunya orang yang sibuk di siang ini. Tapi saat sosok itu muncul, ia segera menyadari. Sosok masa lalu Wina.

"Mang Ata?" Sapa Firman pada Ata.

"Kang..."

"Belum dimakamkan?"

"Baru mau." Jawab Ata, kikuk. Karena ia menyadari Handi tengah memperhatikan.

Firman, Sulis dan Laras masuk. Tatapan Handi mengekor. Tapi kemudian ia kembali sibuk memastikan persiapan pemakaman sudah selesai dan siap.

"Neng....." Wina yang baru selesai membaca surat Yasin untuk Feri menoleh. "Yang sabar. Insyaallah Bapak husnul khotimah."

"Makasih, Kang." Sahut Wina mencoba tersenyum.

"Sabar ya, Sayang." Sulis memeluk Wina.

"Iya, Ma."

"Win...."

"Teh...." Wina membalas pelukan Laras.

"Neng?!" Panggil Handi. Dan sontak semua mata terutama Firman ikut menoleh.

"Iya, A." Sahut Wina.

"Mau sekarang?" Wina menatap tubuh yang kini terbujur kaku tertutup kain itu, lalu kembali menoleh Handi. Handi mengangguk, sorot matanya memberikan Wina kekuatan, Wina menggangguk pelan.

Handi segera menaikkan jenazah mertuanya masuk ke dalam ambulans menuju tempat pemakaman umum dibantu yang lain termasuk Firman. Wina beranjak, mengekor.

"Neng, kamu sama Mang Ata aja ya. Bapak biar sama aku." Ujar Handi. Wina menggeleng. "Bik..." Handi memanggil Sumi untuk mendekat.

"Neng, ayo." Sumi merangkul Wina hangat.

"Aku mau sama Bapak, untuk terakhir kalinya." Cicit Wina. Handi menarik nafas panjang.

"Han?!" Sopir ambulans memberi kode, ambulans siap berangkat.

"Iya, ayo." Putus Handi sembari membantu Wina kembali naik ke ambulans.

Firman dan Isma memperhatikan dengan perasaan berbeda. Firman dengan sejuta tanda tanya sedang Isma dengan perasaan iri. Iri Handi begitu perhatian dan dewasa pada Wina.

Di dalam ambulans, Wina kembali berlinang air mata. Sudah berulang kali dia berusaha hapus air mata yang menetes, tapi seakan tidak ada habisnya. Handi melirik, melihat Wina masih saja terus menangis. Ia bantu menghapus air mata Wina dan menggenggam tangan Wina lalu mengecupnya. Wina berhambur memeluk Handi, menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala kesedihan yang ia rasakan.

"Neng, mau nunggu di sini?" Tanya Handi setibanya di TPU Kota. Wina menggeleng. Ia ingin mengantar sampai tempat peristirahatan terakhir Feri. Bukan menunggu di area parkir TPU. "Tapi janji, harus kuat, harus baik-baik aja. Kasian Bapak." Pesan Handi. Wina mengangguk.

Handi kembali menitipkan Wina pada Sumi dan Nessa. Wina digandeng dua wanita terdekatnya. Handi ikut menguburkan jenazah dan saat tanah mulai menutupi jasad Feri, Wina melemah. Sumi dan Nessa segera memberi kekuatan. Wina masih sadar tapi kakinya terasa gemetar, lemas. Airmatanya terus berlinang.

Dan saat pembacaan doa, Sulis yang merasa prihatin, hendak pindah tempat. Ingin memeluk mantan menantunya itu bertepatan Handi yang juga menghampiri Wina dari sisi lain. Wina yang menyadari Handi mendekat segera berhambur memeluk laki-laki itu.

Langkah Sulis terhenti, Firman mengerutkan dahi sedang Isma menelan saliva. Terlebih melihat pelukan itu erat dan berbalas.

Mereka...?! Batin Sulis dan Firman sembari terus memandang Wina yang kini dirangkul penuh kasih meninggalkan area pemakaman.

Suamiku BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang