SB 2

13.9K 324 2
                                    

"Makasih, Han." Ucap Feri sesaat setelah keluar dari poli klinik. Handi yang hendak dinas menyempatkan waktu menemani Feri check up.

"Sama-sama, Pak."

"Kamu kerja aja, sana. Bapak biar sama Mang Ata."

"Nggak apa-apa, biar Handi temani dulu."

"Nggak usah. Ayo sana kerja. Lagian bapak tinggal nunggu obat."

"Sebentar." Pamit Handi pada Feri dan Ata. "Punya Pak Feri masih lama?" Tanyanya kemudian ke petugas instalasi farmasi.

"Mertua ya, Bro?" Goda petugas tersebut, Handi melotot. Melihat itu ia pun nyengir. "Bentar lagi kok."

"Oke, Thanks." Ujar Handi yang lalu kembali menghampiri Feri. "Sebentar lagi katanya, Pak."

"Ya udah kamu kerja aja sana."

"Bapak mau saya belikan minum dulu?"

"Nggak usah. Bapak nggak haus kok."

"Pak Feri." Panggil petugas instalasi farmasi.

"Nah itu. Sebentar, Pak." Handi terlihat lega. Ia langsung menghampiri loket penyerahan obat. Feri menggeleng dengan bibir dihiasi seulas senyum bahagia. Bahagia memiliki menantu seperti Handi. Meski masih muda, dia sangat dewasa, bertanggung jawab dan santun. Feri bangga pada sosok laki-laki itu. "Pak, ini obatnya. Yang ini sehari sekali. Yang ini dua kali sehari. Diminum setelah makan ya, Pak." Terang Handi. Feri mengangguk-angguk.

"Iya. Makasih, Han."

"Sama-sama, Pak."

"Kalau gitu bapak pulang dulu." Pamit Feri.

"Iya, mari Handi antar."

"Nggak usah."

"Nggak apa-apa, Pak. Bapak juga sekarang itu salah satu pasien rumah sakit ini." Ujar Handi yang lalu mengambil kursi roda. "Biar Bapak nggak capek." Ujarnya kemudian saat mempersilakan Feri duduk di atas kursi roda tersebut. Feri tampak benar-benar bersyukur atas kehadiran Handi.

***

"Bapak udah selesai check up nya?" Tanya Wina via sambungan telepon.

"Udah, ini lagi di jalan mau pulang."

"Ohh... Gimana hasilnya? Maaf Wina nggak jadi nemenin, Wina dadakan harus ketemu klien."

"Iya, nggak apa-apa." Feri menenangkan, ia ingin Wina tidak merasa bersalah. Karena ia tahu betul bagaimana pekerjaan Wina. "Alhamdulillah baik-baik aja. Dan tampak baik-baik saja saat Bapak tahu Bapak nggak salah pilih menantu kali ini."

"Maksudnya?" Wina mengernyitkan kening di ujung telepon sana.

"Handi menantu yang baik, semoga dia juga jadi suami yang baik buat kamu ya, Win."

"Hehe iya, Pak. Aamiin." Wina geleng-geleng kepala mendengar penuturan ayahnya itu.

***

"A Handi beneran nikah?" Isma tampak tidak percaya.

"Iya, emang kamu pikir becandaan?" Seloroh Tuti.

"Kok bisa?"

"Ya bisa atuh, Handi kan emang udah gede. Udah pantas punya istri."

"Nikah sama siapa? A Handi kan nggak punya pacar selama ini?"

"Ibu juga nggak tau, tapi kayaknya anak orang kaya. Waktu nikah aja acaranya di hotel. Kita dijamu mewah selama acara."

"Kok aku nggak tahu dan nggak ada yang kasih tau aku?" Protes Isma.

"Ya kan mendadak, terus gimana mau dikasih tau, kamunya aja susah dihubungi." Sahut Tuti, Isma menelan saliva. Memang betul di tempatnya KKN kemarin, susah signal.

"Terus A Handi sekarang tinggal di mana?"

"Ya tinggal sama istrinya."

"Jadi nggak tinggal di sini lagi?"

"Ya nggak."

"Cantik nggak?"

"Cantik."

"Seumuran siapa? Seumuran aku nggak?" Cerca Isma.

"Seumuran Handi kayaknya." Tuti mengingat-ingat perawakan Wina.

"Berarti di atas aku?"

"Iya."

"Orang mana?" Tampaknya pertanyaan Isma belum habis.

"Ibu nggak tahu banyak."

"Kok bisa? Mereka ta'aruf-an?"

"Ibu nggak tahu pokoknya tiba-tiba pulang dinas malam, sepupu kamu itu minta izin buat menikah. Ibu sama bapak cukup menemani dia saat nikah karena katanya semua urusan pernikahan udah dihandle WO."

"Pakai WO segala?"

"Iya." Angguk Tuti. "Wah dekorasinya mewah banget, makanannya enak-enak. Ibu sama bapak juga dikasih seragam keluarga."

Kok bisa sih dalam tempo singkat A Handi tiba-tiba menikah. Baru ditinggal beberapa minggu A Handi udah nikah. A Handi dipaksa? Atau dia diam-diam menghamili anak orang. Batin Isma. Nggak mungkin, A Handi bukan tipe cowok gitu. Tapi kenapa? Padahal.....

Isma berjalan gontai menuju kamarnya. Sebelum membuka kamarnya ia sempatkan membuka pintu kamar yang tepat berada di sebelah kamarnya. Kamar yang sempat ditempati Handi beberapa tahun ini. Bayangan demi bayangan hari-hari keduanya bersama pun terlintas. A..... Gumam Isma.

Suamiku BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang