SB 16

4.7K 123 6
                                    

"Kenapa pesan aku nggak dibalas malah matiin hp. Lagi usaha hindarin aku?" Sengit Firman.

"Nanti aku telepon balik." Tutup Wina. Nessa yang sempat mendengar Wina berbicara demikian agak mengernyitkan kening. "Nih, makasih." Ucapnya. "Ayo kerja."

"Iya, ayo." Sahut Nessa sembari beranjak meninggalkan ruang kerja Wina.

Sepeninggal Nessa, Wina pun menyalakan ponsel yang tadi sengaja ia matikan. Tidak butuh waktu lama, telepon Firman pun masuk.

"Kamu tahu aku kan?! Hari ini aku hubungi Nessa. Next, bisa aja aku hubungi laki-laki itu buat cari kamu." Ujar Firman penuh penekanan.

"Hp aku tadi keburu mati, habis baterai." Bohong Wina. "Mau dicharge, udah waktunya berangkat kerja."

"Ya udah selamat bekerja, akhir pekan ini aku mau pulang dulu. Bisa ketemu?"

"Aku...."

"Oke, aku jemput ke rumah." Potong Firman.

"Kang?!" Pekik Wina bertepatan dengan sambungan diputus oleh Firman. Wina menghela nafas lalu menundukkan kepalanya dalam.

***

"Woy ngelamun aja, padahal udah ngalamin juga." Ujar Fikri, teman satu shift Handi hari ini.

"Apa sih?!"

"Sakit?" Tanya Fikri sembari mengamati teman kerjanya itu.

"Nggak..." Geleng Handi. Ia memang tidak sakit, hanya sedang khawatir pada perubahan sikap Wina. Sejak kemarin Wina terasa dingin juga agak menghindar darinya. Handi mencoba mengingat-ingat apa dia membuat kesalahan sampai Wina seperti itu.

Seperti malam ini Wina memilih menyendiri di teras dengan laptopnya. Wina beralasan harus mengecek laporan proyek barunya. Handi membiarkan. Ditemaninya Wina dengan menonton televisi di ruang tengah, tepat di samping kiri teras samping tempat Wina berada.

Wina terus membuka file-file lama, karena memang tidak ada dokumen yang harus ia periksa malam ini. Ia hanya mengulur waktu, sampai Handi menyerah menunggunya. Gimana kalau malam ini dia minta jatah. Aku takut... Aku belum siap, aku belum punya penjelasan. Apa kata dia nanti kalau tahu kejadian malam itu. Aku.... Mata Wina terasa perih.

"Neng, belum selesai?" Tanya Handi sembari berjalan mendekat.

"Belum, A. Kenapa? Udah ngantuk? Duluan aja."

"Ya udah duluan atuh ya. Jangan malam teuing. Kasian badan kamu, aku perhatiin belakangan ini diforsir terus."

"Iya, A."

Handi beranjak, Wina pun bernafas lega. Ditatapnya dengan sudut mata punggung laki-laki itu. Tidak gagah, tidak setegap Firman meski tinggi mereka hampir sama. Tapi Handi cukup nyaman dijadikan sandaran. Hangat juga lembut.

Sekarang-sekarang bisa ngeles, nanti? Terus bener nggak ya, dia bakal nekat lakuin itu. Dia emang suka nekat, tapi.... Kilatan kejadian malam itu pun terlintas. Wina merasa kotor saat ini. Wina mengusap wajahnya berkali-kali.

Dua jam kemudian Wina mengendap-endap masuk ke dalam kamar. Tampak Handi sudah benar-benar tertidur pulas. Terdengar dari deru nafas yang teratur. Wina lalu berjalan perlahan menuju tempat tidur. Sebelum beranjak naik, ditatapnya lekat sosok itu.

Pak..... Jerit Wina dalam hati yang lalu memandangi foto pernikahan dirinya dengan Handi. Di mana ada Feri di antara mereka. Feri yang digandeng hangat oleh Wina di sebelah kanan dan digandeng oleh Handi di sebelah kiri.

***

"Sabtu nanti jadi pulang, Man?" Tanya Sulis yang sengaja menelepon putra kesayangannya saat iseng membuka aplikasi WhatsApp dan menyadari putranya itu masih online.

"Jadi."

"Berarti nanti kita jadi ke rumah Tante kamu ya?! Acaranya siang katanya."

"Iya. Tapi Wina ikut nggak apa-apa kan?" Tanya Firman.

"Wina?" Sulis mengernyitkan kening.

"Iya, Wina."

"Kamu mau ajak Wina?"

"Iya, boleh kan?"

"Bo-leh."

"Ohh iya terus kalau aku rujuk sama Wina, Mama setuju nggak?"

"Wina bukannya sekarang udah nikah lagi ya?"

"Iya udah. Otw pisah tapinya." Ujar Firman.

"Mama sih jujur cocok sama Wina. Seneng kalau kalian bisa rujuk."

"Jadi mama dukung?"

"Mama ikut gimana kamu aja."

"Makasih, Ma. Ya udah Mama istirahat. Udah malam banget lho ini."

"Iya kamu juga." Tutup Sulis.

Keningnya Sulis masih mengernyit semenjak tadi. Ia lalu melirik foto di atas nakas. Foto liburan dirinya, Laras, Firman dan Wina. Senyumnya tiba-tiba melebar.

Bagaimana aku nggak mendukung, sejauh ini hanya Wina perempuan yang sepadan dengan kriteria menantu idaman aku. Batin Sulis.

***

Wina terbangun saat tiba-tiba ada tangan yang memeluknya dari belakang, menarik tubuh Wina agar lebih mendekat.

"Hmmm....." Tangan Handi mulai bergerilya.

"A...." Cicit Wina.

"Hmmm...."

"Boleh nggak, jangan sekarang?!" Pinta Wina.

"Kenapa?"

"Lagi..." Kalimat Wina menggantung, karena ia sendiri tidak punya kalimat lanjutannya.

"Iya nggak apa-apa kalau lagi nggak mau." Handi melepaskan diri. Tapi karena sungguh hasratnya sedang membuncah, Handi lalu beranjak ke kamar mandi. Wina menelan saliva.

Aku harus gimana? Batin Wina.

"A..." Cicit Wina lagi sekembalinya Handi dari kamar mandi.

"Iya?!" Sahut Handi biasa. Tidak datar juga tidak bernada tinggi.

"Maaf."

"Iya, nggak apa-apa. Ayo tidur." Ujar Handi sembari kembali beranjak ke atas tempat tidur.

"Lagi mau ya?" Tanya Wina.

"Heh?!" Handi diam sebentar lalu tersenyum. "Nanti aja, masih banyak waktu ini."

"A...."

"Kenapa?"

"Punya istri lagi kayaknya enak lho, kalau aku nggak ada, kamu bisa sama istri kedua." Ujar Wina yang sontak membuat Handi mengerutkan dahi.

"Kamu kenapa? Sakit?" Cerca Handi khawatir. "Mau cerita sesuatu sama aku?"

"Nggak, cuma lagi ngizinin suami poligami aja."

"Poligami?! Aku nggak minat poligami. Punya istri satu aja tanggung jawabnya gede apalagi dua. Berat, Neng. Harus adil." Tutur Handi panjang lebar.

"Atau kamu ceraiin aku, terus nikah lagi juga boleh." Ujar Wina. Handi membulatkan mata.

"Ngomong apa sih? Kamu nggak bahagia sama aku sampai ngomong kayak gitu?" Tanya Handi dengan perasaan tidak karuan.

"Nggak..."

"Maaf aku salah, minta di saat kamu lagi nggak mau. Udah lupain. Mending kita tidur." Putus Handi sembari berjanji pada dirinya sendiri tidak akan lagi meminta lebih dulu.

Suamiku BerondongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang