15 (sniper memburu)

6.2K 382 10
                                        

Fano terlihat kekenyangan setelah menghabiskan berbagai makanan yang ia inginkan. Perutnya sedikit membuncit, sesuatu yang jarang ia rasakan. Biasanya, malam-malamnya dihabiskan dengan menahan lapar, sehingga sensasi kenyang seperti ini terasa sangat asing namun menyenangkan.

"Kita pulang, ya? Adek harus bobo sekarang," ucap Stevan sambil menatap Fano yang bersandar lemas di kursi.

"Besok aku boleh siksa orang, kan, pah?" tanya Fano, nadanya santai, seolah yang ia bicarakan hanyalah aktivitas sehari-hari.

Stevan menahan tawa, geleng-geleng kepala. "Belum ada orang yang berkhianat, Dek. Jadi tahanan kita masih kosong. Belum ada mangsa empuk untuk disiksa."

Fano cemberut, menatap Stevan dengan ekspresi kecewa. "Yah, kan di cabang lain pasti ada."

"Nanti kalau papa dapat info, papa kasih tahu kamu, ya," jawab Stevan sambil tersenyum, mencoba menenangkan anak bungsunya yang tampak serius soal permintaan itu.

"Tentu, pah. Jangan lupa janji!" balas Fano penuh semangat.

Tiba-tiba Fano berteriak, “Pah, ada sniper!”

Stevan reflek memeluk tubuh Fano, namun tak lama tubuhnya terhuyung akibat peluru yang menembus tubuhnya. Fano tertegun melihat darah mulai mengalir dari mulut Stevan.

“Kamu baik-baik saja, Nak?” tanya Stevan dengan suara lemah sambil memeriksa Fano.

“Pa-pa…” suara Fano tercekat, matanya mulai berkaca-kaca.

Stevan segera menggenggam tangan Fano dan menariknya ke mobil. Terdengar isakan dari mulut Fano yang semakin keras, namun Stevan mengusap kepala Fano dengan lembut.

“Hanya peluru kecil, Dek. Tidak akan membuat Papa pergi meninggalkanmu,” ucap Stevan mencoba menenangkan, meskipun darah terus mengalir.

“Pasti sakit, kan?” tanya Fano, cemas.

“Tidak kok, tenang saja. Papa sering terkena peluru seperti ini. Jangan khawatir,” jawab Stevan dengan senyum tipis, mencoba meyakinkan Fano.

“Biar Fano yang mengemudi saja. Papa bobo di kursi belakang,” pinta Fano dengan tegas.

“Papa tidak apa-apa kok,” jawab Stevan sambil tersenyum, meskipun kesulitan.

“Ke kursi belakang. Kita ke rumah sakit, pokoknya!” tegas Fano lagi.

Dengan sedikit usaha, Stevan akhirnya pindah ke kursi belakang. Fano menggigit bibir bawahnya, melihat darah segar yang mengalir dari tubuh ayahnya. Dengan tangan gemetar, Fano mulai mengemudi dengan kecepatan tinggi.

Tidak lama kemudian, kaca mobil pecah. Fano melihat beberapa mobil mengepung mereka.

“Pah, minta pistol!” teriak Fano.

Stevan melemparkan pistol ke Fano, yang segera mengarahkan senjata dan menembaki musuh di sisi kanan dan kiri mereka. Fano bergerak cepat dan terampil, menembak dengan presisi luar biasa.

“Wah, kau hebat juga, Nak! Mungkin saja kalian benar, kita akan melibatkanmu dalam misi besar tahun ini,” kata Stevan sambil terkekeh, bangga dengan kemampuan Fano.

“Aku menantikan itu, Pah!” jawab Fano, penuh semangat.

Meskipun Stevan terus terluka, ia tetap berusaha melindungi Fano. Saat musuh-musuh mereka akhirnya tumbang, Fano menghentikan mobil dan segera memeriksa ayahnya.

“Papa!” seru Fano panik.

“Tenang, Nak. Hubungi abang dan kakakmu. Papa baik-baik saja,” kata Stevan sambil tersenyum lemah.

Stefano Mahardika (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang