BAB 8: Pada Hujan yang Mempertemukan Kami

97 20 0
                                    

Akhir-akhir ini, kesempatanku untuk makan siang sendirian hampir tak pernah ada. Ketika Sasa dan Roi mengajakku untuk makan siang bersama, entah kenapa aku tidak punya sedikit pun celah untuk menolak. Hal itu malah terjadi secara berkelanjutan sehingga aku harus makan siang dengan mereka setiap hari. Bahkan pada siang hari ini yang suasananya terlihat mendung ....

"Se-selamat siang, Bas. Apakah kau tidak ingin makan siang di luar kelas?"

Pengucapan "selamat siang" adalah sesuatu yang baru kudengar dari Sasa. Bahkan setelah tiga hari ini, Sasa tidak pernah mengucapkan selamat siang ketika ingin mengajakku makan. Kesan yang ditampilkan ketika Sasa mengucapkan selamat siang, kurang lebih seperti sapaan formal pada orang baru.

Sayangnya, perbedaan itu bukan satu-satunya hal yang menarik perhatianku. Meski Sasa mempertanyakan soal makan siang, dia tidak datang dengan sekotak bekal seperti biasanya. Pada sikapnya yang aneh seperti itu, aku pun bertanya.

"Apakah kau tidak membawa bekal?"

"Aku bawa, tetapi hari ini sepertinya tidak memungkinkan untuk makan di luar. Aku pun meninggalkannya di atas meja." Sasa mengatakan itu sambil menunjuk ke arah meja belajarnya yang ada di baris depan. Gadis itu menyambung, "Yah, bolehkah aku duduk di depanmu untuk makan siang bersama?"

Kursi yang ada di depanku jelas-jelas bukan milik Sasa. Kursi itu adalah milik Baldi yang saat ini sedang pergi entah ke mana. Kepergian siswa saat jam istirahat adalah wajar, hal yang sama juga terjadi pada Baldi. Aku yakin, Baldi tidak akan mempermasalahkan Sasa jika gadis itu sampai meminjam kursinya untuk makan siang denganku.

"Kurasa Baldi tidak akan mempermasalahkannya. Selain itu, di mana Roi?"

"Klub atletik sedang mengadakan pertemuan pada jam ini. Dia terpaksa menghadirinya dan tidak bisa ikut makan bersama kita." Ketika Sasa menjelaskan soal Roi, dia membalikkan kursi milik Baldi sehingga mengarah padaku dan mengambil kotak bekal miliknya. Gadis yang baru saja duduk di depanku itu kemudian menyambung, "Apakah masalah jika ini hanya kita berdua?"

"Bagiku tidak masalah, tetapi kupikir akan menjadi masalah untukmu."

"Kenapa begitu?"

"Setelah rumor tentang Aya yang berpacaran denganku tersebar, selanjutnya mungkin saja akan menjadi rumor tentangmu. Meski begitu, aku cukup penasaran kenapa hal tidak penting seperti itu bisa menjadi topikalitas di sekolah ini. Maksudku, aku hanya menolong Aya yang hampir terjatuh dan membawanya ke UKS. Hal itu seharusnya tidak akan menjadi besar kecuali ada propagandis yang cukup ahli dalam menyebarkan gosip."

Pada sindiran tajam yang baru saja aku sampaikan, Sasa memberi tanggapan ambigu. "A-apa yang sedang kau bicarakan?"

"Lupakan saja, itu tidak lebih dari gumam pribadi karena rasa penasaran."

Aku membuka kotak bekal milikku, mendapati suwir ayam balado yang sudah dingin itu nampak basah karena bumbu. Aku pun memakannya dan tidak ada pembicaraan penting yang terjadi pada momen makan siang kali ini.

Sebagian besar dari pembicaraan kali ini adalah pembicaraan asal tanpa topik yang konstruktif, tentu saja kalau Sasa adalah gadis yang berperan sebagai produsen topik. Aku hanya menanggapinya dengan jawaban yang sekiranya cukup dan mungkin saja tidak menunjukkan ketertarikan khusus. Hebatnya, Sasa tetap bisa bicara secara lancar meski tanggapanku kurang bagus.

Apakah ini kemampuan jenius dalam berkomunikasi? Dalam beberapa kasus, ada orang yang mampu mengakrabkan diri dengan berbagai orang, apa pun tipe kepribadiannya. Aku yakin, orang lain yang saat ini melihat kami sudah menganggap kalau hubungan kami akrab. Sayangnya, itu adalah manipulasi dari Sasa yang mampu mengatur penglihatan orang lain agar menganggap bahwa kami akrab.

Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang