BAB 6: Sensasi yang Pernah Kami Rasakan Saat Dulu

146 18 0
                                    

Ketika kukatakan pada Paman Heri kalau hari ini adalah hari yang penting, sebenarnya aku hanya ingin menikmati suasana pagi lebih cepat. Maksudku, menikmati kesendirian sambil membaca novel di belakang gedung sekolah, energi seakan-akan terisi dengan stabil ketika aku melakukannya. Aku merasa membutuhkan kesendirian ini sebelum berusaha keras di arena lomba.

Aku mencari kursi kelas yang sudah rusak atau tidak terpakai, membawanya ke belakang gedung sekolah, dan mulai duduk ketika menemukan tempat terbaik. Sebagai sentuhan akhir, aku hanya perlu membaca novel sampai matahari sedikit naik. Mata lomba lari estafet akan dimulai pukul sembilan pagi, aku masih punya waktu sekitar dua jam untuk bersantai.

30 menit sejak aku mulai membaca dengan tenang, aku bisa merasakan langkah kaki mendekat. Empat orang? Tidak, kurasa ada lima orang yang sedang menuju ke tempat ini. Aku pun segera bangun dengan niat untuk pergi sebelum terlihat.

Sayangnya, aku hanya punya satu jalan di mana jalan itu berfungsi sebagai tempat masuk dan keluar. Jika aku memaksakan diri, aku pasti akan berpapasan dengan mereka dan memperlihatkan diri. Aku pun memutuskan untuk bersembunyi dan duduk di balik pohon sambil menunggu mereka pergi.

"Jadi, bagaimana kalian ingin memerasku?"

Tu-tunggu, suara itu, itu adalah suara Aya! Apa yang terjadi? Selain itu, memeras? Apa yang terjadi? Tidak, tenang dulu. Lihat apa yang terjadi dan pikirkan cara untuk keluar dari situasi ini.

Aku mengambil ponsel dari dalam saku celana, membuka mesin perekam dan mulai merekam pembicaraan mereka. Entahlah, kebetulan dan kesempatan ini mungkin saja berguna untuk memanfaatkan Aya serta yang lainnya.

"Satu juta rupiah," ujar seorang laki-laki yang suaranya terdengar berat. Aku sama sekali tidak bisa melihat wajah mereka karena aku sedang bersembunyi dan tidak mungkin untuk berbalik. Laki-laki bersuara berat itu menyambung, "Berikan aku satu juta dan kartu pelajar temanmu akan aku kembalikan."

Tanpa gentar atau rasa takut, aku bisa mendengar suara Aya yang menjawab dengan tegas. Gadis itu berkata, "Kalian bertindak seakan-akan aku tidak bisa melaporkan ini pada pihak sekolah. Setidaknya, aku punya banyak waktu untuk melaporkannya setelah membayar satu juta pada kalian."

"Benarkah?" Suara laki-laki itu terdengar mengintimidasi. Kemudian, aku bisa mendengar suara Aya seakan-akan dia berada dalam bahaya.

"Kalian berempat serius ingin melakukan kekerasan pada seorang gadis?"

"Yang aku butuhkan adalah uang. Menyakiti seseorang hanya bonus untuk kesenangan. Dengar, gadis kecil. Meski kau melaporkan kami hari ini, masih ada besok, lusa, dan seterusnya sampai hari kelulusan untuk menghancurkanmu."

"Kalian iblis."

"Kalau bisa, aku yang iblis ini ingin menyelesaikan masalah secara baik-baik. Sejak awal, aku sudah berbaik hati karena ingin mengembalikan kartu pelajar temanmu hanya dengan satu juta."

Merasa kalau bukti penting sudah ada di tanganku, aku mengirim rekaman itu pada beberapa orang khawatir aku akan tertimpa masalah setelah menunjukkan diri. Aku mengirim dokumen rekaman pada Aya, Sasa, dan Rio. Termasuk, aku meminta mereka untuk jangan buru-buru melaporkannya pada pihak sekolah mengingat Aya belum mengeluarkan satu rupiah pun untuk membayar.

Aku menunjukkan diri dengan ponsel di tangan kanan dan novel di tangan kiri. Sambil berkata, "Semua percakapan kalian sudah aku rekam. Ini mungkin saja bisa menjadi bukti penting. Ah, berkaca dari aturan sekolah pasal tiga tentang keselamatan dan keamanan siswa, pemalakan atau pemerasan terhadap siswa yang lebih lemah memiliki hukuman paling ringan berupa dropout. Paling buruk, kau harus di-dropout bersama laporan kepada pihak berwajib."

Menanggapi kedatanganku yang mungkin saja tidak diduga-duga, laki-laki berbadan besar yang sedang memojokkan Aya ke dinding memetik jari. Isyarat petikan jari membuat tiga laki-laki lainnya mulai melangkah maju dengan memamerkan tinju mereka.

Aku pun dengan sedikit panik berkata, "Ah, sebaiknya kalian jangan menyerangku, lho. Aku sudah mengirim rekaman ini ke beberapa temanku dan meminta mereka untuk jangan melaporkannya dulu sampai aku terbukti disakiti. Lagi pula saat ini, aku sedang menelepon salah satu temanku dan jika kalian melakukan kekerasan, maka kalian ak--"

Segenggam tinju melayang dengan begitu keras saat mengenai pipiku. Membuatku jatuh dan sedikit terpental karena tenaga yang luar biasa itu. Ada suara gadis yang berteriak, "Bas!"

Meski rahang dan mulutku terasa sakit, aku memaksakan diri lagi untuk bangun sambil berkata, "Oi, kalian serius? Melakukan kekerasan padaku berarti melaporkan diri kalian sendiri."

"Hentikan, kalian bertiga," perintah laki-laki berbadan besar pada ketiga orang yang sepertinya adalah bawahannya. Laki-laki yang baru saja menyingkirkan tubuhnya dari depan Aya itu menyambung, "Dia sudah mendapatkan kartu penting untuk mengancam kita. Lagi pula, keberuntungan kita sepertinya sedang buruk karena memilih belakang gedung sebagai tempat pemerasan."

Dia melemparkan sebuah kartu yang sepertinya adalah kartu pelajar ke wajah Aya, tindakannya benar-benar merendahkan orang lain. Membalikkan punggung dan berniat pergi, dia menyampaikan kalimat pamit berupa ancaman.

"Jangan lupa kalau aku masih akan menargetkan kalian berdua. Lain kali tidak akan ada celah lagi ketika aku serius ingin memeras kalian." Setelah menyampaikan ancaman serius, laki-laki yang tidak aku ketahui siapa dan berasal dari kelas mana pun pergi.

Aya berjalan ke arahku dan mengambilkan novel serta ponselku yang terjatuh. "Untuk sekarang, ikut aku ke UKS," ujarnya meminta, tapi terkesan seperti memberi perintah. Aku pun menolaknya karena pergi ke UKS akan menyita waktuku untuk bersantai.

"Aku tidak butuh ke UKS, aku hanya ingin melanjutkan suasana santai ini."

"Jangan macam-macam! Pipimu terlihat memar, apakah kau ingin membuatku terus merasa bersalah? Lagi pula, kenapa kau menolongku?"

"Karena kita adalah saudara." Kalimatku secara efektif membuat Aya diam dan membatu.

Aku pun mulai melangkah untuk kembali ke kelas. Mungkin untuk selanjutnya, belakang gedung tidak akan bisa aku gunakan lagi. Aku harus segera mencari tempat baru untuk menikmati kesendirian dan membaca novel saat jam istirahat.

"Tunggu!" Seorang gadis menahan tanganku untuk pergi sehingga langkahku mendadak terhenti. Gadis yang mengenakan seragam olahraga dengan nuansa merah marun itu menyambung, "Biarkan aku merawatmu setidaknya sebelum kita berlomba!"

Pada tawaran yang mungkin saja tulus untukku, aku menggaruk kepala karena ini telah menjadi merepotkan lebih dari yang kubayangkan. Aku pun menjawab, "Ya ... terserah. Setidaknya lepaskan dulu tanganku karena aku bisa jalan sendiri."

"Eh, ah, iya, maaf."

Mungkin, karena beberapa alasan yang tidak bisa aku mengerti, Aya merasa harus merawatku sampai dirinya tidak sadar ketika melampaui batas. Meski begitu, sensasi ketika tangan kecilnya menggenggam tanganku seperti tadi, kapan terakhir kali aku pernah merasakannya? Pasti, aku pernah merasakan sensasi itu saat kami masih menjadi sepasang kekasih dulu.

Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang