Hari ini adalah hari pertama dari ulangan tengah semester yang akan berlangsung selama satu minggu. Pagi ketika kelas mengkhawatirkan nilai mereka mungkin saja terasa dingin dan cukup menegangkan. Karena pada hakikatnya, ujian kali ini merupakan ujian yang cukup berat bagi para siswa dengan nilai rata-rata. Bergantung pada tingkat kesulitan soal, siswa yang memperoleh nilai di bawah standar akan di-dropout. Tidak ada yang mau putus sekolah, hal itu sudah cukup memotivasi agar sebagian besar siswa menambah jam belajar mereka.
Beberapa orang membawa buku kecil atau referensi yang bisa dibaca sambil berjalan. Setiap detik ketika dirimu belajar akan memperkecil kemungkinan untuk di-dropout, itu adalah doktrin mengerikan yang memaksa siswa agar belajar.
Tentu saja, aku maupun orang-orang tidak bisa menganggap kalau hal ini hanya semacam gertakan. Satu bukti yang pasti, mereka yang terlambat datang saat upacara penerimaan benar-benar di-dropout pagi itu juga. Sekolah ini sudah menunjukkan keseriusannya sejak hari pertama, maka UTS juga pastinya tidak akan main-main.
"Baiklah, aku hanya ingin melihat alat tulis yang berada di meja. Lembar soal, jawaban, maupun coret-coretan akan disediakan dari pihak sekolah. Sisanya silakan letakkan di depan kelas."
Berdasarkan perintah pengawas, kami mulai maju teratur dan menyusun tas di depan kelas. Pengawas pertama pun mulai membagikan lembar soal berikut lembar jawaban kepada para siswa. Momen menegangkan ini akan berlangsung selama satu minggu, tidak, ketegangan ini akan terus berlangsung sampai nilai diumumkan.
Menyelesaikan UTS tidak akan memastikan bahwa nilaiku aman. Terlebih lagi, siswa dengan nilai rata-rata atau evaluasi B- sampai C- tidak bisa mendapat kepastian. Apa pun itu, aku hanya mengharapkan hasil terbaik bagi semuanya. Tentu saja, ini juga menyangkut persaingan pribadi antara aku dan Bas.
___________________
"Mulai dari titik ini, aku akan mengumumkan hasil UTS."
Kalimat pembuka dari Pak Roni sukses membuat para siswa menelan ludah. Guru laki-laki yang menggunakan kacamata bulat itu nampak menempelkan semacam poster di depan kelas. Dia kemudian berkata, "Kalian bisa melihat sendiri hasilnya. Aku beri waktu tiga menit."
Informasi yang tertera di permukaan poster agak sulit terlihat bagi siswa yang duduk di kursi belakang. Mereka pun beranjak bangun dan melihat poster itu dari dekat, mencari nama mereka masing-masing untuk memastikan nilai.
"Nilaiku aman!" Anis yang baru saja melihat poster langsung mengelus dada karena lega. Terlepas dari peringkat paralel, para siswa lebih mengutamakan nilai mereka masing-masing. Tentu saja, konsekuensi bagi mereka yang nilainya di bawah standar adalah dropout. Mendapatkan nilai di atas standar adalah prioritas pertama sebelum mengejar peringkat atas.
"Bagaimana dengan nilaimu?" tanya Anis saat pucat di wajahnya sudah 100% menghilang. Pada pertanyaannya itu, aku pun menjawab dengan apa adanya.
"Nilaiku aman, itu menempati peringkat kedua di bawahnya Rere."
Berat untukku mengakuinya, tetapi peringkatku bahkan bukan yang nomor satu di kelas ini. Bagaimana bisa aku mengharapkan lima peringkat teratas saat memperoleh peringkat satu di kelas ini saja tidak bisa?
"Pak Roni, bagaimana dengan nilai paralelnya?" Di sini, aku bertanya sebagai ketua kelas dengan motif kekhawatiran pada mereka yang nilainya di bawah. Karena, seperti yang sudah diumumkan, lima peringkat terbawah di angkatan ini akan terkena minus nilai.
Menanggapi pertanyaanku, Pak Roni dengan ekspresi yang sedikit merendahkan kami menjawab, "Tenang saja, lima peringkat teratas sudah dimonopoli oleh siswa kelas A dan lima terbawah sudah diborong oleh kelas G. Kalian dalam posisi yang aman-aman saja, tapi--"
KAMU SEDANG MEMBACA
Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅
Novela JuvenilSTATUS: ENDED Bas tidak pernah menyangka kalau dia dan mantan pacarnya akan menjadi saudara tiri saat SMA. Dari sekian banyak calon ayah sambung, kenapa ibunya harus memilih laki-laki yang merupakan seorang ayah dari mantan pacarnya? Meski begitu, B...