Saat ini, aku sedang duduk di ruang tamu sambil membaca novel romansa untuk mengisi waktu luang. Yah, meski begitu, aku sebenarnya sedang menunggu kurir yang akan membawa seragam SMA untukku. Kegiatan membaca novel hanyalah kedok agar aku tidak mati gaya saat sedang di ruang tamu. Intinya, ada beberapa seragam khusus yang menjadi identitas dari sekolah baruku nanti, dan itu akan diantarkan ke setiap rumah siswa lewat perantara kurir.
Ada satu hal yang membuatku bertanya-tanya, kenapa Aya ikut duduk di ruang tamu bersamaku saat ini? Seakan-akan, dia juga sedang menunggu sesuatu yang mungkin saja adalah seragam. Hal yang membuatku khawatir adalah, jika dia menunggu seragam di hari yang sama, apakah itu berarti kalau dia mendaftar di SMA yang sama denganku? Aku pun memastikan hal itu dengan bertanya.
"Apa yang sedang kau tunggu?"
Menanggapinya, gadis itu melipat tangan di dada dan memasang muka sinis untukku. Dia kemudian menjawab, "Jika aku bertanya balik, apa yang sedang kau tunggu?"
"Seperti kelihatannya, aku hanya sedang membaca buku. Keberadaanmu di dekatku sejujurnya sedikit mengganggu."
"Ah, sayangnya aku tidak peduli dengan keluhan itu. Kita adalah saudara tiri, sudah menjadi hak bagiku jika aku ingin duduk dan bersantai di ruang tamu."
Tidak ada informasi apa pun yang bisa aku gali darinya. Aya, gadis itu secara lihai mampu memanipulasi jawaban demi mencegah keluarnya informasi. Dia bukan tipe orang yang bisa diiming-imingi hal manis untuk dipaksa mengatakan sesuatu. Aku sudah tidak bisa memastikan apa pun darinya, maka aku hanya akan tetap menunggu dan melihat bagaimana ini berjalan.
Sampai suatu ketika, bel terdengar berbunyi dan rencanaku untuk menggali informasi masih belum cukup untuk menghadapi Aya. Awalnya, aku ingin tetap memasang ekspresi datar meskipun ada orang yang datang dan membunyikan bel. Apabila Aya memasang ekspresi tertentu seakan-akan apa yang dia tunggu telah sampai, maka aku bisa memastikan kalau dia juga sedang menunggu seragam sepertiku. Sayangnya, gadis itu tetap berekspresi sinis meski sudah mendengar suara bel. Dia bukan tipe gadis yang bisa dimanipulasi.
"Kau tidak mau membukakan pintu? Meski kau sudah menunggunya sejak tadi?" Aya bertanya dengan senyum tipis, ekspresinya menunjukkan kalau dia sudah bisa membaca seluruh niatku dengan jelas. Sayangnya, aku tidak akan bisa dikalahkan dengan mudah. Aku pun mempertahankan ekspresi datar dan menjawab pertanyaannya.
"Aku tidak sedang menunggu apa pun. Yah, jika kau memang tidak mau membukakan pintu, maka aku saja yang melakukannya." Aku mengusahakan yang terbaik untuk bangun dari duduk secara alami, berjalan mendekati pagar dan mendapati sesosok kurir sudah menunggu di luar.
Kurir berseragam merah itu memberikan dua kotak untukku. Dia berkata, "Paket atas nama Baskoro Abyudaya dan Aya Dianita? Tanda tangan di sini." Dia memberhentikan ujung telunjuknya di sebuah tempat yang harus aku tanda tangani.
Ketika aku masuk ke dalam dengan membawa dua kotak hitam, Aya tersenyum lebar saat posisi duduknya sedang menyilang kaki di atas sofa. Gadis itu menyeruput teh hijau, meletakkan cangkirnya di atas piring putih dan bertanya padaku.
"Jadi, rupanya kau mendaftar ke SMA yang sama denganku?"
"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kenapa kau mendaftar ke SMA Swasembada Cendekia?" Aku memberikan satu kotak hitam padanya di mana nama Aya tertulis sebagai penerima kotak itu.
Aya kemudian menjawab, "Itu adalah SMA favorit, kau tahu? Adalah wajar jika aku yang menjadi lulusan terbaik dari SMP favorit untuk masuk ke SMA favorit. Apakah aku salah?"
"Yah, kita lihat saja apakah kau akan menjadi siswa kehormatan saat upacara penerimaan nanti." Aku berjalan melewati ruang tamu, meninggalkan Aya yang masih terduduk geram di atas sofa.
Tiba-tiba, langkahku untuk pergi langsung terhenti ketika seorang gadis menahan bahuku dengan tangan kecilnya. Gadis itu dengan dingin bertanya, "Apa maksudmu?"
"Yah ... aku hanya penasaran saja. Jika itu memang SMA favorit, seharusnya akan ada banyak siswa yang berasal dari SMP favorit juga. Aku cukup penasaran apakah kau mampu meraih nilai tertinggi saat mengerjakan tes masuk SMA."
Gadis itu menjadi tersulut emosi sampai genggamannya secara tidak sadar sudah menarik tanganku untuk berbalik. "Aku yakin mampu meraih nilai tertinggi di ujian tes masuk SMA. Kau sendiri?"
Itu adalah pertanyaan yang sudah aku tunggu sejak tadi. Aku pun dengan senang hati menjawab, "Daripada mampu meraih, aku sudah bisa menentukan ingin dapat nilai berapa." Mengakhiri percakapan, aku menarik tanganku secara kasar dan meninggalkan gadis itu di ruang tamu.
Ketika kupikir kalau Aya sudah menyerah untuk mengikutiku, pemikiran itu ternyata salah. Gadis yang mengurai rambutnya sampai sepanjang bahu itu ikut masuk ke kamarku saat aku baru saja duduk di atas kasur. Dia yang baru saja menutup pintu dan bersandar di sudut dinding mulai bicara dengan sinis."Ayo buat kesepakatan, ini demi kehidupan keluarga kita dan kehidupan sekolah kita masing-masing."
"Aku sudah tahu kalau kita harus terlihat rukun di depan orang tua kita demi menjaga pernikahan mereka, tetapi aku baru dengar soal kesepakatan baru ini. Kenapa kau ingin membatasi kehidupan sekolahku?"
Gadis itu berjalan maju, mengarahkan telunjuk lentiknya sambil berkata, "Tentu saja, ada batas-batas yang tidak boleh seorang saudara lakukan."
"Contohnya?"
"Dengar, aku ingin memulai debut masa SMA secara sempurna dan tidak ingin berakhir menjadi penyendiri seperti tahun ketiga SMP-ku. Karena itu, kau tidak boleh terlibat dalam hal apa pun yang menyangkut kehidupanku di sekolah." Tepat setelah kalimatnya berakhir, kuku cantik yang menghias telunjuknya sudah menyentuh dahiku dengan sedikit mendorong.
Aku membalas tatapannya yang begitu dekat sambil berkata, "Kau bicara seakan-akan aku ingin peduli denganmu. Tenang saja, aku sendiri tidak mau tahu tentang bagaimana nasibmu di sekolah. Asalkan kau tidak mengganggu jam makan siangku di belakang gedung sekolah, kau akan aman."
"Kau, apakah kau berniat ingin jadi penyendiri lagi di masa SMA nanti?"
"Kenapa? Bukankah kesepakatan ini tentang kita yang tidak boleh peduli satu sama lain? Terserah aku ingin melakukan apa di SMA nanti." Aku menjawab Aya secara terang-terangan dan menyingkirkan telunjuk lentiknya dari dahi.
Aku pun beranjak bangun dari posisi duduk di atas kasur, menyusuri rak buku untuk mencari satu judul yang sekiranya ingin aku baca untuk menghabiskan waktu. Sambil berkata, "Masih ada yang ingin dibicarakan? Jika tidak ada maka tolong keluar dari kamarku."
Aya beranjak pergi dan menutup pintu kamarku tanpa mengatakan apa pun. Dengan perginya gadis itu, aku pun bisa mulai menikmati waktu kesendirian untuk membaca buku. Ini adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan untuk menghabiskan waktu. Apa pun yang terjadi saat SMA nanti, semua akan baik-baik saja jika aku tidak terlibat dengan siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅
Dla nastolatkówSTATUS: ENDED Bas tidak pernah menyangka kalau dia dan mantan pacarnya akan menjadi saudara tiri saat SMA. Dari sekian banyak calon ayah sambung, kenapa ibunya harus memilih laki-laki yang merupakan seorang ayah dari mantan pacarnya? Meski begitu, B...