"Aya! Punya waktu untuk siang ini?"
Seorang gadis yang tidak pernah lagi terlibat denganku sejak upacara penerimaan, dia secara mendadak datang padaku dengan sekotak bekal. Perilakunya memperlihatkan seakan-akan gadis ini ingin makan siang bersamaku, tentu saja tanpa janji atau pembicaraan apa pun sebelumnya.
"Maaf, apakah ini penting? Sebenarnya aku ingin makan siang bersama teman-temanku hari ini." Kalimatku barusan seharusnya sudah mengarah pada penolakan. Namun, tergantung situasinya yang mana pembicaraan ini penting, mungkin saja aku tidak bisa menolak.
"Yah ... sebenarnya aku hanya ingin sedikit bertanya-tanya padamu. Ah, kalau kau keberatan maka lain-kali pun tidak masalah. Maaf karena aku datang padamu secara mendadak." Gadis dengan jepit rambut berwarna hijau itu tampak meminta maaf dengan senyum tipis dan ekspresi kecewa.
Aku pun dengan terpaksa mengalihkan pandanganku pada gadis yang saat ini sedang berdiri di sebelahku. "Maaf, Anis. Seperti yang kau lihat, aku ada sedikit urusan."
"Bukannya aku merasa keberatan, tapi pastikan kalau kau akan makan, ya!" ujar Anis memperingatkan diriku dengan jari telunjuk yang terangkat lurus. Gadis berkacamata bulat itu kemudian menyambung, "Kau itu mudah pingsan jadi jangan pernah melupakan makan."
"Yang kemarin itu berbeda, memangnya salah siapa sampai aku jadi tidak bisa sarapan? Tapi, terima kasih. Aku akan segera kembali jika ini sudah selesai."
____________
Duduk di salah satu kursi panjang tanpa meja, aku dan gadis bernama Sasa mulai membuka bekal kami masing-masing untuk dimakan. Berteduh di bawah pohon ceri, aku memangku bekal di atas paha karena memang tidak ada meja yang tersedia di kursi tepian.
"Terima kasih karena sudah mau makan siang denganku. Aku harap kau tidak kapok jika aku makan siang denganmu lain kali," ujar Sasa ramah sambil bertepuk tangan satu kali.
Aku pun dengan senyum yang sekiranya setengah hati memberi tanggapan. "Lain kali? Memangnya kau tidak ingin makan siang dengan teman sekelasmu?"
"Aku itu tipe gadis yang ingin akrab dengan siapa saja. Terutama pada orang yang sudah memberiku nama Sasa di sekolah ini," jawab gadis itu, lagi-lagi dengan senyum lebar yang terpatri di wajahnya.
"Memberimu nama? Bukankah nama Sasa itu kau sendiri yang menyarankan?"
"Aya adalah orang yang memintaku untuk mempertahankan nama Sasa, setidaknya untuk identitas diriku di sekolah ini." Tepat setelah mengatakan itu, Sasa memasukkan sosis yang bentuknya seperti gurita ke dalam mulut. Gadis itu kemudian menyambung, "Pernah dengar kisah tentang Iblis yang mencari nama?"
"Jangan bicarakan hal aneh, apakah ini yang ingin kau tanyakan padaku?"
Merasa kalau arah pembicaraannya mulai hancur, aku segera membenahinya agar lebih teratur. Sasa sepertinya paham dan dia menghentikan sebuah cerita tentang Iblis yang baru saja dia sebutkan.
"Sayang sekali, padahal aku ingin berbagi sedikit tentang cerita dongeng yang aku suka. Aya itu ... sepertinya tidak suka dengan bawaan yang bertele-tele, ya?"
"Kalau bisa, aku ingin segera mendengar poin utama dari pembicaraan ini."
"Poin utama, ya ... baiklah!" Sasa untuk yang kedua kalinya mengunyah sosis berbentuk gurita dengan lahap. Terlihat, pipinya sampai menggembung karena sesuap nasi juga ikut masuk ke mulutnya. Setelah dikunyah sampai sekiranya halus, Sasa menelan makanan yang ada di mulut dan lanjut bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅
Novela JuvenilSTATUS: ENDED Bas tidak pernah menyangka kalau dia dan mantan pacarnya akan menjadi saudara tiri saat SMA. Dari sekian banyak calon ayah sambung, kenapa ibunya harus memilih laki-laki yang merupakan seorang ayah dari mantan pacarnya? Meski begitu, B...