BAB 3.5: Kesepakatan Untuk Saling Mengabaikan

244 32 0
                                    

Berangkat sekolah dalam satu kendaraan yang sama, mengenakan seragam yang sama, dan memiliki tujuan yang sama. Sebenarnya, semua kesamaan itu sama sekali bukan masalah jika laki-laki yang saat ini berangkat bersamaku bukanlah mantan pacarku. Terlebih lagi, semua ini tidak akan terjadi jika aku bisa berangkat sendiri dan memisahkan diri dari laki-laki suram itu.

"Aya, jangan pasang wajah cemberut di hari pertama masa SMA-mu. Wajah cantik itu jadi terlihat menggemaskan, kau tahu?" Ayahku yang tengah menyetir memberikan satu kalimat penggoda ketika suasana hatiku sedang buruk.

Aku pun dengan ketus menjawab, "Aku bukan anak SD yang harus diantarkan oleh orang tuanya sampai ke sekolah."

"Apa masalahnya? Kami hanya akan mengantar kalian di hari pertama. Hari pertama itu harus dieksekusi dengan spesial. Lihat, bahkan Bas tidak keberatan ketika diantar oleh ibunya."

Menimpali kalimat ayahku, Bibi Evy yang duduk di kursi mobil bagian depan berkata, "Itu benar, Aya. Tante yakin kalau di sekolah nanti akan ada banyak orang tua yang juga mengantar anak-anak mereka. Memangnya, Aya mau datang ke sekolah sendirian ketika anak-anak yang lain diantar oleh orang tua mereka?" Wanita yang mengikat rambutnya dengan ikat rambut bermotif melati itu bicara dengan ramah sambil sesekali bertepuk tangan.

"Ya-yah, kurasa tidak masalah jika hanya untuk hari pertama."

_________________

Mengikuti papan yang mengarahkan para siswa, aku dan Bas jalan beriringan menuju Aula. Ayahku dan Bibi Evy sudah pergi karena mereka hanya akan mengantar kami sampai gerbang. Jalan beriringan bersama Bas sejujurnya membuatku merasa risih sampai aku berakhir dengan menegurnya.

"Fakta bahwa kita adalah saudara tiri, itu rahasia, 'kan?"

Laki-laki dengan seragam putih abu-abu yang tengah berjalan di sampingku menjawab, "Tenang saja, aku tidak akan punya seseorang yang begitu layak untuk mendengar ceritaku atau rahasiaku."

"Baguslah, sampai kapan kau mau berjalan di sampingku?"

Mendengar pertanyaanku yang mungkin saja terkesan kasar, Bas tidak mengubah sedikit pun ekspresinya dan tetap melihat ke arah depan. Mempertahankan langkahnya agar tidak melambat atau semakin cepat, laki-laki yang posturnya 15 cm lebih tinggi dariku itu menjawab, "Jika kau keberatan maka kau saja yang pergi. Aku terlalu malas untuk melambatkan langkah atau mempercepatnya."

"Baiklah, kau pergi duluan." Aku pun memperlambat langah kaki dan membiarkan laki-laki itu agar jalan lebih dulu. Ketika aku sudah tidak bisa melihat punggungnya lagi dari belakang, aku lanjut melangkah untuk pergi ke aula.

Aula yang baru saja aku pijak ternyata jauh lebih megah dari bayanganku. Besarnya mungkin saja sama dengan gedung olahraga, ada jarak sekitar 30 meter dari ujung kepala untuk sampai ke langit-langit. Terlepas dari seberapa tinggi bangunan ini, lebarnya juga sangat luas sampai cukup untuk ditempatkan oleh 210 kursi. Aku duduk di salah satu kursi yang tersedia dan menunggu dengan tertib sampai upacara dimulai.

Ketika aku duduk dan mulai memperhatikan sekitar, ada seorang gadis yang menyapaku dengan ramah. "Hai, boleh kenalan?" Dia yang duduk di sampingku memasang ekspresi ramah dihias senyum tipis, membuatku merasa kalau dia adalah gadis yang baik.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang