"Wajahmu kelihatan lebih suram dari biasanya, sesuatu terjadi?" Menyambut kedatangan seorang laki-laki yang masih mengenakan seragam, aku dengan senang hati melancarkan kalimat provokatif. Padaku yang memberi sambutan dingin, laki-laki itu menanggapi diriku dengan dingin juga.
"Kelihatannya kau selalu pulang lebih dulu dariku. Apakah kelasmu tidak melakukan sesuatu untuk UTS bulan depan?"
"Ah ... soal itu, tentu saja kelasku juga menerima pengumumannya. Namun, itu bukan sesuatu yang bisa kami tangani dengan tindakan khusus. Terlebih lagi, hampir semua siswa di kelasku selalu memperoleh nilai yang melebihi standar saat ulangan harian. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Benarkah? Kurasa ini tidak akan semudah ulangan harian karena pemeringkatan disusun secara paralel," ujarnya sambil melepas jas almamater dan meletakkannya di atas sofa. Dia yang masih mengenakan seragam putih abu dan ikat pinggang itu duduk bersamaku di atas sofa yang sama.
"Memangnya apa yang kelasmu lakukan?" tanyaku penuh penasaran.
Bas yang baru saja duduk di sampingku itu kemudian menjawab, "Kami membentuk kelompok belajar."
"Ah ... aku mengerti. Pastinya, kau harus turut mengajari siswa lain karena kau memiliki peringkat yang tinggi di kelas. Apakah aku salah?"
Menanggapi pertanyaanku yang mungkin saja tepat sasaran, Bas melonggarkan dasi seragamnya dan bersandar di atas sofa. Dia kemudian menjawab, "Bagian itulah yang merepotkan."
"Bukankah itu bagus untuk mengajari orang lain? Kau juga bisa meningkatkan pemahaman dalam batas tertentu ketika mengajari orang lain."
"Sayangnya, aku merasa kalau pemahamanku dalam belajar sudah maksimal dan itu tidak bisa meningkat lagi. Jadi, mengajari orang lain sepertinya percuma saja."
Padanya yang berbicara angkuh seperti itu, aku pun memberi tanggapan. "Sombong sekali, sikap itulah yang membuatmu payah dalam berteman."
"Nyatanya aku memang tidak butuh teman." Dia tetap saja teguh pada pendiriannya yang angkuh dan itu sangat menyebalkan. Bas adalah orang yang bisa dibilang ahli dalam segala hal, fakta itu membuatku tidak bisa membalas apa pun soal keangkuhannya.
"Aku punya proposal kesepakatan, maukah kau mendengarnya?" Di luar dugaan, Bas memulai topik itu lebih dulu meski aku sudah berniat untuk mengajukan proposal juga.
"He ... apakah kau ingin bersaing denganku di UTS mendatang?" Aku coba untuk memancing niatnya agar terlihat lebih jelas, lalu Bas menjawabnya dengan segera.
"Itu benar, bersainglah denganku di UTS nanti. Kupikir, itu akan mudah untuk menentukan pemenangnya karena peringkat ditentukan secara paralel." Dia dengan terang-terangan langsung menangkap umpan dariku. Aku pun hanya perlu menarik pancingan ini agar niat utamanya bisa terlihat dengan lebih jelas.
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"Jika aku menang, jadilah pacarku."
Dari sekian perkiraan dan antisipasi yang sudah aku susun, proposal macam itu tidak masuk dalam perhitunganku. Apa yang dia pikirkan? Apakah dia tahu arti dari kalimat itu?
"Boleh aku dengar alasannya?"
Menjawab pertanyaanku tentang proposal anehnya, Bas mulai menjelaskan alasannya. Dia yang awalnya bersandar mulai mengangkat punggungnya untuk bicara dengan lebih serius. "Sore ini, untuk kedua kalinya aku telah ditembak oleh seorang gadis."
"Ka-kau ini, sebenarnya seberapa populer dirimu yang suram itu? Aku heran kenapa orang-orang sangat suka dengan laki-laki suram seperti dirimu."
"Jangan bilang begitu saat kau pernah menjadi pacarku," ujar Bas kesal dan dia kembali menyandarkan punggungnya dengan rileks. Laki-laki itu kemudian menyambung, "Aku tidak tahu cara untuk menolak seorang gadis dengan pasti. Ketika aku menolaknya, dia secara agresif terus menanyakan alasan tentang kenapa aku menolaknya? Jadi, kupikir, satu-satunya cara untuk menolak seorang gadis adalah dengan mengatakan bahwa aku sudah punya pacar."
"Lalu, kau ingin agar aku menjadi pacarmu?" Pada pertanyaanku yang konotasinya adalah memastikan, Bas mengangguk dua kali. Aku pun lanjut berkata, "Jangan seenaknya, aku juga ingin punya pacar yang normal di masa SMA. Jangan pikir kalau kau bisa merebut hal itu dari masa SMA-ku."
"Protes yang seperti itu, apakah itu adalah tanda kalau kau optimis gagal?"
Seperti mencekik leherku, kalimat barusan membuatku terdiam dan bingung harus menanggapinya dengan seperti apa. Satu-satunya yang bisa aku sampaikan adalah dengan menjawab, "Apa maksudnya itu?"
"Seperti yang aku katakan, kau menolak proposal dariku karena optimis gagal dalam pertarungan ini. Dengan kata lain, kau merasa tidak akan bisa mengalahkanku. Apakah itu masih kurang untuk memperjelas?"
"Kata-katamu bagus juga, dari mana kau mempelajarinya?"
"Jangan membuat pembicaraannya jadi melenceng. Kau akan menerima tantangan dariku atau tidak?" Bas mengulangi proposalnya dengan sedikit penekanan.
Aku pun menjawab, "Kau hanya perlu pacar sebagai status, 'kan? Maksudku, kau membutuhkan status sebagai pacar seseorang supaya hidupmu tidak lagi terganggu oleh gadis-gadis yang menyukaimu."
"Begitulah." Bas menjawabnya seakan-akan dia sama sekali tidak peduli dengan perasaan gadis lain.
"Baiklah, jika hanya sebatas itu maka tidak masalah bagiku untuk menerimanya. Sekarang, mari bicarakan kesepakatan tentang benefit yang aku terima jika aku menang." Mengalihkan topiknya secara perlahan, pembicaraan selanjutnya akan menjadi tentangku.
"Apa yang kau inginkan?" tanya Bas.
Aku dengan penuh semangat menjawab, "Jika aku menang, jadilah bawahanku dan bimbing aku agar bisa masuk ke kelas A tahun depan."
"Aku melihat ada lubang di kesepakatan itu," ujar Bas seakan-akan sedang mengoreksi kesepakatan yang baru saja aku ajukan. Dia kemudian menyambung, "Jika aku gagal membawamu ke kelas A tahun depan, apa yang akan terjadi?"
"Jika itu sampai terjadi, maka kau harus melakukan hal yang sama selama setahun lagi. Dengan kata lain, ketika aku gagal masuk ke kelas 2-A tahun depan, kau masih harus membimbing diriku agar masuk ke kelas 3-A. Jika masih gagal juga, maka kau harus membimbingku sampai lulus. Itu saja, apakah ada masalah?"
"Aku mengerti, dengan ini kita sepakat?"
"Sepakat." Aku menanggapi Bas dengan senyum tipis dan mengangkat tangan kiri untuk berjabat. Dia yang melihatku sedang mengajukan jabat tangan dengan tangan kiri merasa aneh sampai bertanya.
"Bukankah berjabat harus dilakukan dengan tangan kanan? Apakah kau kidal?"
Aku dengan senang hati menjawab, "Ini adalah jabat tangan permusuhan. Kita sedang dalam pertarungan, bukan? Maka biar jabat tangan ini yang mengunci kesepakatan kita."
Bas yang baru saja mengerti dengan konteksnya langsung menggaruk kepala dan menerima jabat tangan dariku. Lalu demikian, aku dan Bas membentuk kesepakatan tentang UTS.
"Aku harap kau tidak merendahkan nilaimu seperti saat tes masuk." Aku memperingati Bas akan sesuatu yang mungkin saja berpotensi dilakukan olehnya.
"Tenang saja, kau bisa melihat 20% dari kemampuanku di UTS kali ini," jawab Bas angkuh dan aku tidak bisa memastikan kalau kalimat itu hanya sekadar gertakan. Namun, meski itu memang benar, aku akan tetap melawan Bas. Mengalahkannya sudah menjadi resolusi masa SMA-ku saat ini!
"Semoga kau tidak sampai di-dropout."
"Kau juga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅
Teen FictionSTATUS: ENDED Bas tidak pernah menyangka kalau dia dan mantan pacarnya akan menjadi saudara tiri saat SMA. Dari sekian banyak calon ayah sambung, kenapa ibunya harus memilih laki-laki yang merupakan seorang ayah dari mantan pacarnya? Meski begitu, B...