"Wah, Sabtu pagi begini mau pergi ke mana?" Ayahku yang tengah membaca koran menghentikan langkahku dengan satu pertanyaan. Dia menyeruput secangkir kopi dalam jeda singkat, meletakkan cangkir itu lagi di atas meja dan lanjut bertanya, "Kau kelihatannya ingin pergi berkencan dengan seseorang?"
"Ti-tidak, aku hanya ingin main bersama teman-temanku. Kami sudah sepakat untuk menonton film di bioskop, aku akan pergi ke stasiun sekarang."
"Wah, asyiknya ... akhir-akhir ini sepertinya sedang banyak film bagus di bioskop." Bibi Evy yang mengenakan baju santai juga ikut duduk bersama ayahku di ruang tamu. Wanita yang menguraikan rambutnya sampai punggung itu kemudian menyambung, "Tidak perlu Bas antar? Tante juga melihat kalau anak itu sedang berpakaian rapi barusan. Mungkinkah kalian akan pergi bersama?"
"A-ah, tidak. Kurasa itu hanya kebetulan. Mungkin saja kalau Ba--maksudku Kakak juga punya janji dengan teman-temannya."
Tidak mungkin bagiku untuk menyebut nama 'Bas' tanpa sebutan Kakak di depan ayah. Karena perjanjian yang sudah terjalin hari itu, aku terpaksa harus memanggil Bas dengan sebutan 'Kakak' di depan ayahku atau Bibi Evy. Satu-satunya alasan yang bisa aku gunakan saat ini adalah, "Maaf, aku belum terbiasa untuk memanggilnya dengan sebutan Kakak."
"Ah, jangan permasalahkan itu," ujar Bibi Evy dengan begitu ramah menghiburku.
Ayahku yang barusan menautkan alis kembali menurunkannya setelah menerima alasan. Tidak lama setelah percakapan singkat kami, Bas mendatangi ruang tamu dengan pakaian seakan-akan dia hendak pergi ke luar. Bibi Evy yang melihat momen ini entah kenapa menjadi bersemangat.
"Ke mana kau ingin pergi?" tanya Bibi Evy pada anak kandungnya sambil bertepuk tunggal. Bas yang menggunakan sweter biru dan celana hitam itu kemudian menanggapinya.
"Aku ingin pergi ke perpustakaan nasional. Pinjamkan aku sepeda motor agar bisa pergi ke stasiun."
"Kebetulan, Aya juga mau pergi ke stasiun saat ini. Bagaimana jika kau mengantarnya sekalian?" Pada pertanyaan langsung dari ibunya, Bas mengiyakan iya tanpa keberatan.
"Aku tidak keberatan, bagaimana denganmu?" Bas mengalihkan pandangannya untuk bertanya padaku.
Aku pun menjawab, "Tidak masalah, aku juga sudah berniat ingin minta diantar oleh Kakak. Namun, itu sepertinya sudah tidak perlu karena tujuan kita ternyata sama."
Dengan itu, rencana untuk mengelabui orang tua kami telah sukses. Kami pun bisa pergi bersama ke stasiun dengan menaiki sepeda motor di mana Bas berperan sebagai pengendara sementara aku duduk di belakang. Kami terpaksa berbohong pada mereka karena tentu saja, tidak mungkin kami pamit untuk pergi berkencan.
__________________
"Bersiaplah, kereta di hari Sabtu biasanya akan ramai." Bas yang saat ini tengah berdiri di sampingku memberi peringatan. Dia meletakkan kedua tangannya di dalam saku celana, seperti antisipasi agar tangannya tidak salah pegang. "Kau boleh memegang tanganku jika ingin. Saling menyilang tangan juga boleh," sambung Bas saat dia ternyata sudah menyadari tatapanku.
"Jangan bercanda. Masih ada banyak pegangan yang tersedia di dalam kereta." Tidak menerima tawaran Bas, kami pun akhirnya berjalan masing-masing ke dalam kereta.
Saling beradu sikut dengan penumpang lain, kami berdesak-desakan ketika menaiki kereta. Tidak mungkin untuk mendapati tempat duduk karena semuanya sudah penuh bahkan sebelum kereta ini sampai. Aku pun terpaksa berdiri di samping Bas sampai pundak kami bersentuhan.
Parahnya, tidak ada satu pun pegangan yang tersedia untukku. Semua pegangan itu sudah dipenuhi oleh tangan-tangan dari penumpang lain. Aku pun terpaksa bertahan di dalam kereta dengan segala guncangan dan desak penumpang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅
Teen FictionSTATUS: ENDED Bas tidak pernah menyangka kalau dia dan mantan pacarnya akan menjadi saudara tiri saat SMA. Dari sekian banyak calon ayah sambung, kenapa ibunya harus memilih laki-laki yang merupakan seorang ayah dari mantan pacarnya? Meski begitu, B...