BAB 10.5: Kenapa Kami Bisa Putus?

94 18 0
                                    

Memiliki pacar, hal itu sejujurnya memang terasa menyenangkan. Saling telepon sebelum tidur, kencan di akhir pekan, aku dan Bas sempat melewati masa-masa itu selama satu tahun.

Aku sendiri tidak pernah menyangka bisa sampai sedekat itu dengan Bas. Bicara dengannya setiap hari mungkin saja menimbulkan kecocokan secara alami di antara kami. Aku bisa mengerti bagaimana caranya mengobrol dengan Bas, laki-laki itu juga paham bagaimana caranya menanggapi diriku. Meskipun aku semakin menjauh dari teman-teman, tetapi bersama Bas sudah lebih dari cukup untuk membayarnya.

"Saat SMA nanti, apakah hubungan kita akan berlanjut?" tanyaku yang sedang duduk bersebelahan dengan Bas. Kami duduk tanpa alas, di atas rumput liar, di belakang gedung sekolah saat jam makan siang.

Bas dengan nada pasrah menjawab, "Kau pastinya ingin mengejar SMA favorit, bukan? Agak mustahil bagiku untuk mengejar SMA favorit yang sama sepertimu."

"Tidak, aku akan mengikutimu ke mana pun kau mendaftar."

Memikirkan hari-hari sekolah tanpa keberadaannya yang melembutkan suasana, aku tidak bisa. Laki-laki ini memang bersikap ketus dan dingin pada awalnya, tetapi itu hanya perlakuan untuk orang baru. Seperti yang aku rasakan, perilaku Bas terhadap orang dekat, atau mungkin 'orang yang spesial' benar-benar berbeda.

"Aku akan berusaha untuk mengejar SMA favorit yang kau kejar. Maukah kau membantuku belajar mulai sekarang?"

"Tentu, aku akan membantumu setiap hari termasuk akhir pekan!"

Berdasarkan itu, aku dan Bas akhirnya selalu menempati perpustakaan selepas sekolah. Mengatur tempat kencan di luar sekaligus untuk belajar. Aku benar-benar senang ketika menghabiskan waktu dengannya. Aku berharap kalau masa-masa ini akan berlanjut setelah kami masuk ke SMA yang sama.

Suatu hari, aku datang pada Bas yang sudah menunggu di perpustakaan. Aku yang hari itu merasa berbahagia mendatangi Bas dengan senandung langkah. "Bas, kau tahu?" tanyaku antusias dengan niat membuat Bas penasaran.

Namun, membicarakan soal Bas yang antusias akan sesuatu sejujurnya agak sulit. Bahkan laki-laki yang hari itu sedang fokus belajar hanya menjawab, "Tidak tahu."

"Teman-temanku, mereka mendadak datang padaku dan ingin bermain lagi denganku. Mereka juga membicarakan hal-hal bagus tentangmu! Aku senang sekali karena akhirnya ada yang mengakui hubungan kita."

"Benarkah? Bukankah mereka hanya ingin memanfaatkanmu karena Ujian Nasional sudah dekat?"

"Ah ... aku mengerti. Pasti kau cemburu karena mulai sekarang aku harus mengajari orang lain selain dirimu."

"Itu benar."

Padanya yang terang-terangan seperti itu, tentu saja kalau aku menjadi malu. Namun, Bas memang begitu sejak awal. Ini bukan berarti dia sedang menggoda atau sebagainya, aku harus menanggapinya dengan tenang.

"Tenang saja ... aku tetap akan mengutamakan dirimu untuk diajari. Karena itu, untuk sekarang biarkan aku belajar bersama teman-teman, ya?"

"Yah, bukan berarti aku melarangmu. Kau bebas ingin pergi dengan siapa pun."

"Terima kasih, kita akan melanjutkan belajarnya besok, oke?"Aku pun berbalik dari Bas, meninggalkannya yang sedang belajar sendirian di perpustakaan.

Besoknya, aku mendatangi perpustakaan lagi dan menemui Bas yang sedang belajar sendirian. "Maaf, teman-teman mengajakku untuk pergi ke taman hiburan. Bolehkah kalau aku pergi bersama mereka sore ini?"

Satu-satunya kalimat yang keluar dari mulut Bas sore itu adalah, "Pergi ke taman hiburan, ya? Sepertinya itu akan menyenangkan. Pergilah bersama teman-temanmu." Dia mengatakan itu dengan senyum sehingga aku meninggalkannya lagi tanpa cemas.

Laki-Laki Bermulut Besar dan Gadis Bermata Besar ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang