3

9K 1.2K 44
                                    

Emily memasuki gedung perusahaan. Sambil berjalan cepat di antara pekerja lainnya, matanya melirik tanpa menggerakkan kepala, berharap ia tidak bertemu Danny pagi ini. Emily mungkin saja bukan pihak yang bersalah, tapi ia belum siap untuk bicara atau sekadar mendengar keterangan Danny yang ia yakin hanya akan berisi omong kosong belaka. Omong kosong yang sialnya akan diterima Emily dan berakhir memaafkannya.

Damn it. Dalam hati, Emily memaki dirinya sendiri. Ia selalu saja begini, keras di mulut dan lembek pada kenyataannya.

"Berubahlah Emily! Jadilah berani dan lebih percaya diri! Kau bisa dapat yang lebih baik dari si berengsek itu," bisik Emily pada dirinya sendiri. Tapi, segera mendapat bisikan lain yang rasional dari dirinya sendiri juga. "Astaga, Emily, siapa yang kau bohongi? Sadar diri saja, Danny itu sudah yang terbaik yang bisa kau dapatkan, kalau bersikeras ingin mendapatkan yang lebih baik, kau mungkin akan melajang sampai nenek-nenek."

Emily berdecak kesal mendengar bahkan dirinya sendiri saja tidak yakin dan tidak mendukungnya. Jadi, sudah benar kalau ia berharap tidak bertemu dulu dengan Danny selama beberapa hari.

Emily mengantre untuk masuk lift. Sambil menunggu gilirannya melangkah masuk, Emily dapati seorang laki-laki baru saja berbalik di sudut lift yang sama. Tatapan mereka bertemu dan entah kenapa Emily menahan napas, sedangkan perutnya tiba-tiba mengetat. Emily masuk ke dalam lift dan segera berbalik untuk memutuskan tatapannya dari Antoni. Berbarengan dengan pintu yang menutup, Emily rasakan punggungnya panas meremang menyadari Antoni ada di sana. Emily mengerjap keras, berusaha mengabaikan fakta itu dan lebih menekankan fakta bahwa mereka kini tidak hanya berdua.

"Apa semalam kau tidur nyenyak?" suara Antoni yang dalam dan tenang mengejutkan seisi lift.

Emily dan pekerja lain menoleh pada Antoni dan Emily rasa jantungnya jatuh ke lambung saat mendapati Antoni tengah menatapnya. Antoni tidak sedang memegang ponsel, yang berarti pertanyaan itu bukan untuk orang lain di luar sana melainkan salah satu di antara mereka, dan tatapan yang mengarah pada Emily jelas berarti pertanyaan itu adalah untuknya.

Antoni mengangkat alis, pertanda ia menunggu Emily menjawabnya. "Kau semalam tidur nyenyak, Emily?" Antoni mengulangi pertanyaannya, bahkan menyebutkan nama Emily juga.

Tiba-tiba saja Emily kesulitan untuk bernapas. Karena kini bukan hanya Antoni yang menatapnya, melainkan seisi lift juga menatap dengan penasaran. Penasaran dengan hubungan apa kiranya yang ada di antara Emily dengan bos mereka karena Antoni bahkan memanggil nama Emily dengan akrab.

"I-iya, Sir," jawab Emily alih-alih tersenyum dengan formal, justru meringis dengan canggung. Emily menarik pandangannya kembali ke depan, berusaha tak acuh walau tahu betul bahwa ia kini menjadi pusat perhatian.

Denting lift tidak pernah terdengar semelegakan itu bagi Emily. Begitu pintu terbuka, ia melesat pergi secepat yang ia bisa. Ia melangkah laju, hampir berlari kecil menuju mejanya. Merasa seperti melarikan diri, padahal tidak ada yang mengejarnya. Emily menjatuhkan bokongnya di kursi, lanjut menjatuhkan siku di meja. Ia memegangi kepala, kebingungan dengan situasinya.

"Apa-apaan itu tadi? Kenapa dia bertanya seperti itu di depan semua orang?" gumam Emily tak habis pikir. "Aku paham kau hanya ingin memastikan, Sir, tapi haruskah menanyakannya di depan semua orang seperti tadi?" tanya Emily seolah ada Antoni di depannya untuk diinterogasi.

"Emy."

Emily terlonjak kaget hanya karena seseorang memanggilnya. Ia menoleh lalu mengembuskan napas lega mendekati lemas, karena itu hanya Rose temannya.

"Kau tadi malam ke mana? Danny meneleponku larut malam dan ponselmu tidak bisa dihubungi," terang Rose tampak begitu khawatir.

Emily menghela napas panjang. "Aku hanya kehabisan baterai," jawab Emily.

Affair or Fair?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang