15

4.1K 706 46
                                    

Makasih banyak buat yg masih mau nungguin 😭

Happy reading

_______

Sorenya

Emily mendorong troli di antara rak supermarket. Ia mengambil roti dari rak lalu memelototinya. Pikirannya ada di tempat lain, teringat artikel media online yang Rose tunjukkan padanya sore tadi, tentang Anne Winston yang mengaku sudah putus dengan Antoni Marano karena Antoni yang berselingkuh.

Emily membanting rotinya masuk ke dalam troli sambil memaki. "Dasar wanita jahat," kesal Emily.

"Jelas-jelas kau yang bercinta dengan laki-laki lain," maki Emily membanting satu bungkus lagi untuk dimasukkan dalam troli. "Bisa-bisanya kau masih saja menyalahkan laki-laki sebaik Antoni." Emily menarik satu bungkus dan  membantingnya lagi ke dalam troli. "Antoni bahkan …."

Emily diam mengeratkan rahangnya dengan gemas, tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kekesalannya. Ia ingat Antoni bahkan merasa bersalah padanya karena Anne menggoda Danny. Antoni sampai meminjamkan apartemennya dan begitu baik membiarkannya tinggal untuk sementara. Semua karena merasa bertanggung jawab akan kesalahan Anne dan tapi wanita itu dengan teganya menyebarkan rumor buruk, memutar balikkan fakta dengan menyebut Antoni yang berselingkuh di belakangnya.

"Dia memang tidak pantas untukmu, Tuan Marano," gerutu Emily membanting satu bungkus roti terakhir.

Emily lalu mendorong trolinya untuk pergi menuju bagian sayuran.

"Itu jadi agak melegakan melihat hubungan kalian berakhir," gumam Emily masih bicara sendiri. "Sepertinya bukan cuma aku, tapi Tuan Marano juga mendapatkan keadilan dari perselingkuhan itu. Hidup sungguh punya cara yang unik," Emily tersenyum sengit.

"Takdir selalu adil, Emily," kata seseorang.

Emily menoleh dengan terkejut. Terkejut ada seseorang yang tiba-tiba muncul menyahuti ucapannya. Emily berubah lemas dan memegangi dadanya begitu tahu siapa pelakunya.

"Astaga, Judith! Bisakah sekali saja kau muncul tanpa mengejutkanku?" omel Emily.

Judith tersenyum dan mengambil satu tomat untuk diteliti kualitasnya. "Itu bukan salahku," sangkalnya, "kau yang suka menggerutu dan bicara sendiri di keramaian tanpa memperhatikan sekelilingmu, jangan salahkan kalau tiba-tiba ada yang menjawabmu."

Emily berdecak lalu cemberut tak bisa mendebatnya. Memang benar ia suka menggerutu dan bicara sendiri sepanjang waktu. Itu sudah seperti kebiasaan karena dulu—dan mungkin sampai sekarang masih begitu—ia tidak punya siapa pun untuk diajak bicara kecuali dirinya sendiri. Rasanya bisa sedikit lega jika ia mengutarakan semua isi kepalanya kalaupun itu hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Emily bergabung dengan Judith untuk mengambil beberapa tomat. Di selanya memasukkan beberapa buah, Emily melirik keranjang Judith dan tersenyum. Ia senang melihat Judith ada di sini untuk berbelanja, itu artinya Judith mendapatkan uang dan akan punya makanan selama beberapa hari ke depan. Kalaupun itu hanya sup tomat encer dengan kuah lebih banyak daripada isiannya, setidaknya ia tidak kelaparan. Emily ingat pernah melakukan hal serupa untuk bertahan. Bertahan dengan sup encer selama berhari-hari dan bagaimana sepotong roti adalah sesuatu yang mewah untuk dimiliki.

"Kau belanja banyak," komentar Judith.

"Kau tahu kebiasaanku setiap akhir pekan," jawab Emily untuk mengingatkan.

Judith tersenyum dan mengangguk. "Good girl," puji Judith.

Emily tersenyum menerima pujiannya. "Apa besok kau sibuk? Mau membantuku berkeliling membagikan roti isi? Aku rasa besok aku akan sibuk mencari apartemen, jadi aku butuh seseorang untuk membantuku. Kalau kau setuju, aku akan membayarmu sebagai pekerja paruh waktu," tawar Emily.

Affair or Fair?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang