5

7.5K 1K 61
                                    

Haii ♥️♥️🥰. Happy weekend, Happy reading ♥️

_____________

Emily mengentak-entakkan sepatunya menunggu pintu lift terbuka. Ia bersedekap dan melirik jam dinding, berusaha menenangkan dirinya dengan fakta bahwa ini bahkan belum memasuki jam makan siang, jadi tidak perlu khawatir akan bertemu Danny di perjalanan.

Ia sudah merencanakan ini tadi malam, mengambil cuti setengah hari, tapi mencuri waktu dengan pergi sebelum makan siang untuk memastikan tidak bertemu Danny di jalan. Ia akan pulang  untuk mengambil barang-barangnya dan tidak pernah kembali, lagi-lagi tanpa perlu menghadapi Danny. Terserah saja kalau ia terlihat seperti pengecut, ia hanya berusaha menjaga dirinya sendiri, ia tidak ingin luluh lagi pada Danny. Tidak boleh sama sekali.

Lift tiba dan pintunya perlahan terbuka. Emily menarik napas amat dalam begitu melihat salah seorang di dalamnya. Emily menoleh ke arah lain dan mundur perlahan. Kesialan macam apa yang membuatnya bertemu bosnya sendiri saat ingin membolos kerja?

"Naik atau tidak?" tanya Antoni.

Emily meringis dan menggeleng. "Maaf, Tuan Marano."

"Jangan memainkan tombol lift, Nona Emily. Kau bisa menyela perjalanan orang lain," tegur Antoni. Seorang laki-laki bertubuh besar yang hampir selalu ada di samping Antoni, mendekat ke sudut untuk menekan tombol lift.

Ringisan Emily meredup melihat wajah tanpa ekspresi Antoni. Antoni tidak bicara dengan kasar, tapi Emily merasa perutnya baru saja dihantam. Sungguh Antoni bicara dengan nada biasa, kenapa ia sakit hati?

Apa yang kau harapkan Emi? tanya Emily pada dirinya sendiri.

Emily menghela napas lalu memutuskan untuk naik. "Maaf, Tuan Marano," lirih Emily, "Saya hanya … sedikit terkejut."

Emily menarik napas dalam-dalam melihat pintu di hadapannya menutup perlahan.

"Kau terlihat seperti orang yang tertangkap basah saat akan melarikan diri," gumam Antoni.

Emily terpejam dan berusaha menyembunyikan ringisan di wajahnya.

Memang benar, Tuan Marano. Batin Emily. Ia memeluk tasnya, berharap Antoni tidak bisa melihat situasinya dengan jelas.

"Kau bolos kerja?" tebak Antoni selanjutnya.

Emily segera menoleh dan menyangkalnya dengan gelengan. "Tidak benar, Sir," katanya, "saya mengambil cuti setengah hari sesuai prosedur perusahaan."

Antoni melirik dan tampak meragukan hal itu.

"Saya bersumpah, Tuan Marano. Anda bisa memastikannya ke manajer saya," terang Emily sejujurnya sedikit panik.

Antoni menarik pandangannya ke depan, tampak tak lagi mempermasalahkan. "Kenapa? Kau sakit?" tanya Antoni kemudian.

"Saya baik-baik saja, hanya perlu memindahkan beberapa barang," terang Emily.

Antoni tidak lagi bertanya. Emily yakin pria itu paham dengan maksudnya. Tentu saja karena Antoni juga adalah satu-satunya orang yang tahu situasinya. Sejujurnya Emily bersyukur akan hal itu. Rasanya seperti bersekutu dengan pejuang terbaik hingga ia pasti menang dalam pertarungan apa pun. Lift berhenti dan Emily sangat lega mendengar suara dentingnya.

"Semoga harimu menyenangkan, Emily." Antoni lebih dulu berjalan keluar, diikuti dua pria—bodyguard dan asistennya.

Emily mengulum bibir berusaha menyangkal debaran di dadanya. Ia memukul dadanya sendiri dengan agak keras hingga hampir terbatuk.

"Jangan berani berdebar-debar karena pria kaya itu, Emi!" bisik Emily pada dirinya sendiri. “Dia baik karena dia memang pria bermartabat, terima kebaikannya dan jangan berani memikirkan hal lain. Astaga, Emily, kau menjijikkan. Kau baru saja patah hati, tapi sudah melirik pria lain? Yang benar saja!”

Affair or Fair?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang