6

6.9K 1K 81
                                    

Emily membuka pintu perlahan, melongok pelan-pelan memastikan rumah itu kosong. Ia membuka pintu lebih lebar setelah yakin Danny tidak ada di dalam. Emily berdiri diam di tempatnya selama beberapa saat, memperhatikan kondisi rumah yang ia tinggal baru satu malam, tapi sudah tampak berantakan.

Emily melangkah perlahan sambil memperhatikan selimut di sofa dan kaleng minuman di meja. Tampaknya Danny semalam tidur di sana. Apakah pria itu menunggunya semalaman? Berharap ia pulang?

Emily menarik napas dalam, berusaha memungkiri sesak di dadanya. Ia mengambil selimut itu dan melipatnya lalu membersihkan meja. Ketika membawa sampahnya ke dapur, Emily dapati tempat itu juga berantakan.

"Yang benar saja, Dann, aku hanya pergi satu malam," gumam Emily prihatin.

Piring dengan roti digigit setengah dan kotak jus di sampingnya menunjukkan laki-laki itu tadi pagi kesiangan dan tidak terlalu sempat sarapan. Emily mengembalikan kotak jus ke lemari pendingin lalu membereskan piring sekalian mencucinya.

Di tengahnya mencuci piring, Emily jadi merenungkannya. Apa jadinya Danny jika ia meninggalkannya? Danny dulu bisa merawat dirinya sendiri, tapi setelah tinggal bersama tampaknya Danny sedikit lupa dengan caranya. Terlanjur terbiasa diurus oleh Emily mungkin membuatnya manja.

Emily mematikan kran, tapi tidak beranjak walau wastafel sudah ia kosongkan. Ia berbalik dan menatap sekeliling rumah. Bertanya pada dirinya sendiri, benarkah ini sudah berakhir? Ia akan meninggalkan Danny dan rumah ini?

"Bicaralah dengan Danny! Tidak seperti hubunganku, aku rasa hubungan kalian masih bisa diselamatkan."

Kata Antoni kemarin.

Emily menarik napas dalam-dalam dan coba merenungkannya lagi. Ia bertanya-tanya dalam hati, adakah kemungkinan ia akan menyesal suatu hari nanti jika mengakhiri hubungannya dengan Danny? Wajah sendu Emily berubah pahit secepat kilat ketika muncul di benaknya bayangan Danny bercinta dengan Anne kemarin.

"Tidak," jawab Emily pada dirinya sendiri. Ia beranjak menuju kamar untuk membereskan barang-barangnya. "Tidak, Emi. Jangan repot-repot mengkhawatirkan hal itu!" Emily menyiapkan kopernya lalu membuka lemari.

"Pikirkan saja berapa banyak wanita cantik, yang bagi Danny selalu tampak lebih menarik dari dirimu! Ini bahkan bukan pertama kalinya, ini sudah yang kedua, dan kau akan memaafkannya lagi? Kau menunggu ada yang ketiga dulu baru mau pergi, huh?" Emily membereskan barang-barangnya sambil memarahi diri sendiri.

"Dulu dia beralasan, hal itu terjadi karena kita berjauhan. Katanya tinggal serumah pasti menjamin hal ini tidak terjadi lagi. Kau bersama dengannya setiap saat, dan lihatlah! Dia tetap saja bercinta dengan wanita lain." Cerocos Emily masih melanjutkan. "Hal itu terjadi jelas bukan karena keadaan, melainkan keinginannya sendiri. Iya, kan?"

Emily terus mengomel sampai selesai memasukkan semua barang-barang. Sebelum pergi, Emily menatapi setiap sudut rumah itu satu kali lagi. Semuanya sudah rapi  Danny pasti tahu jika ia pulang mengambil barang dan merapikan kekacauan rumah. Emily menarik napas amat dalam karena tiba-tiba merasa emosional.

"Dia mengkhianatimu, Emi. Ingat itu baik-baik!" lirih Emily untuk terakhir kali.

Emily menghabiskan sisa sorenya mencari tempat tinggal baru. Ketika ia sampai di apartemen yang Antoni pinjamkan, ia tidak mendapat hasil yang bagus. Banyak apartemen bagus, tapi tidak satu pun sesuai dengan kantongnya. Emily tidak terkejut, lokasi memang sangat menentukan harga properti. Ia akan berkeliling ke pinggiran kota di akhir pekan nanti. Berharap di sana bisa menemukan hunian dengan harga sesuai walau itu artinya ia akan berangkat ke kantor sangat pagi karena jauhnya jarak rumah itu dari kantornya.

Affair or Fair?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang