7

6.6K 1K 54
                                    

Emily baru berjalan sebentar saat seseorang menyela perjalanannya.

"Apa kau mau membeli gelang manik-manik, Nak?"

Emily menoleh dan terkejut melihat wanita tua itu berkeliaran selarut ini. Emily mengenalinya.

"Judith," seru Emily lebih karena khawatir daripada senang. "Apa yang kau lakukan di sini selarut ini?" Emily buru-buru mendekati Judith.

Wanita tua itu tersenyum manis, seolah menawarkan gelang memang hanya basa-basi, niat yang sebenarnya adalah untuk menyapa Emily.

"Apa pemilik gedung mengusirmu lagi karena terlambat bayar sewa?" tanya Emily khawatir.

"Tidak, aku sudah bayar sewanya," terang Judith berusaha menghalau kecemasan Emily.

"Lalu?" tanya Emily secepatnya. "Kau tidak punya makanan lagi, makanya berkeliling sampai larut begini?" tebak Emily selanjutnya.

Kali ini Judith tidak menjawabnya, tersenyum saja dan Emily langsung mengartikannya sebagai iya.

"Ayo, kubelikan makanan!" Emily mengambil papan dan keranjang dari tangan Judith tanpa permisi.

"Kapan kau akan berhenti keras kepala?" Emily mulai mengomel. "Tidak ada salahnya membiarkan orang lain mengurusimu, Judith! Aku bersumpah panti yang kuceritakan padamu itu tidak buruk sama sekali. Kau akan bertemu banyak teman di sana. Dan tidak perlu mencemaskan biaya, pemerintah akan menanggungnya …" Emily mengomel sepanjang jalan sembari mencari tempat terdekat yang menjual makanan. Tidak sekalipun menoleh sebab yakin Judith berjalan mengikutinya di belakang.

Lima menit kemudian mereka sudah duduk di sebuah restoran kecil yang hangat dan Emily memesankan krim sup panas juga roti untuk Judith. Wanita tua itu masih belum bicara, tersenyum dan menatap Emily saja dengan bahagia.

"Katakan saja kalau setelah ini kau masih lapar! Aku akan memesankan yang lain," kata Emily, melengkungkan senyuman tulus, tapi juga tegas dan serius akan perintahnya pada Judith.

Judith tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih," katanya.

Emily mengangguk, lega namun prihatin. Judith adalah seorang penjual gelang manik-manik yang tidak sengaja Emily lihat beberapa kali. Emily bersyukur mereka bertemu setiap Judith butuh bantuan, butuh uang untuk membayar sewa, dan butuh uang untuk makan. Dan anehnya adalah, disaat yang sama, biasanya Emily juga sedang butuh seseorang untuk bicara. Mereka menjadi cukup dekat sampai Emily bahkan pernah mengantar Judith pulang. Dan seingat Emily, tempat itu  jauh dari sini. Kalau bukan karena terpaksa keadaan, kaki-kaki tua Judith tidak mungkin berjalan sejauh ini.

"Aku senang melihatmu, Emily," kata Judith selanjutnya. "Biasanya kita bertemu saat keadaanmu kurang baik, tapi kali ini kita bertemu saat kau punya kabar baik."

Emily berdecak lalu menghela napas lesu hingga pundaknya turun.

"Judith, berhentilah berlagak seperti peramal yang membaca kehidupan orang! Sudah kubilang, orang-orang akan langsung tahu kau menipu mereka karena kau selalu meleset …."

"Aku tidak pernah meleset," sangkal Judith.

"Kau baru saja melakukannya," sangkal Emily balik. "Aku kemarin melihat Danny bersama wanita lain dan sore ini aku mengambil barang-barangku keluar dari rumahnya, tapi kau malah bilang aku punya kabar baik …"

"Itu jelas kabar baik di mataku," tukas Judith.

Emily tercengang, menatap Judith tak percaya seolah mengatakan, "Teganya kau, Judith."

Judith paham akan hal itu, tapi tetap saja ia tersenyum tanpa merasa bersalah.

"Lagi pula, aku sudah pernah memberitahumu, laki-laki itu tidak sepadan denganmu," terang Judith.

Affair or Fair?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang