Saka terpental keluar pintu saat sang ayah mendorongnya dengan paksa dari dalam rumah, nyaris tersungkur di teras jika tidak dipegangi oleh mamanya.
"Mas! Tolong jangan lakukan ini." Sang ibu terdengar memohon.
"Dia sudah berani menentangku, lihat saja apa dia bisa bertahan hidup di luar sana tanpa embel-embel nama besar Dirgantara. Aku ingin menyadarkannya, bahwa dia tidak bisa apa-apa tanpa aku di belakangnya." Dengan murka, sang ayah mengusir Saka dari kediamannya.
Tidak ada perlawanan dari Saka atas apa yang pria paruh baya itu lakukan kepadanya, dia memang sudah muak dengan segala tuntutan yang dibebankan pada dirinya.
"Jika kau juga ingin menentangku, ikutlah bersama putramu." Adalah kalimat lantang dari papanya sebelum pria itu membanting pintu di hadapan mereka.
Saka menoleh pada ibunya yang masih menangis, wanita itu terlihat bingung. "Aku pergi ya, Ma," ucapnya lirih.
Sang ibu meraih tangan Saka, menggenggamnya. "Apa Mama boleh ikut denganmu?"
Sesaat Saka terdiam, dia tahu akan berat hari-harinya setelah ini. Dia tidak ingin membuat ibunya bersusah hati. "Jangan sekarang, Ma. Nanti jika aku sudah sukses di luar sana, aku akan kembali dan membawa Mama pergi dari sini."
Wanita itu menangis lagi, namun tatapan matanya tampak mengerti. Dia mengangguk. "Pergilah, kamu sudah cukup bertahan demi Mama," ucapnya dengan melepaskan genggaman tangan pada putranya.
Saka ikut mengangguk dengan yakin. Dia meminta wanita itu mendoakannya agar bisa sukses di luar sana dan kembali untuk menjemputnya.
"Mama bukan mau meremehkan kamu, tapi jika nanti kamu merasa tidak mampu, kembalilah. Biar Mama bantu bicarakan dengan papamu, dia hanya emosi," bujuk wanita itu.
Saka tidak mengangguk, pun tidak menggeleng untuk menyangkal bahwa semua itu tidak akan pernah terjadi. Tapi dia percaya bisa berdiri sendiri tanpa sang papa di belakangnya. Dia ingin tahu siapa yang membutuhkan siapa di antara mereka.
Setelah memberikan pelukan perpisahan sekali lagi, Saka menyuruh mamanya untuk masuk ke dalam rumah, jangan sampai sang ayah juga marah kepadanya.
Saka menghela napas ketika pintu di hadapannya kembali tertutup, dia sudah biasa tidak pulang ke rumah ini, juga terbiasa membeli apapun sendiri, tidak sulit sepertinya untuk menjalankan kebiasaan itu sedikit lebih lama dari sebelumnya.
Yang baru baginya adalah bertahan hidup tanpa Dirgantara sebagai embel-embel nama belakangnya. Tapi dia yakin pasti bisa.
Sejenak Saka berpikir harus ke mana malam ini. Dia tidak membawa apa-apa, Saka tidak punya apapun selain kaus lengan pendek dan celana panjang yang melekat di tubuhnya.
"Bahkan orang yang benar-benar miskin saja tidak pernah semiskin ini," gumamnya sedikit ngeri.
Suara pintu terbuka membuat Saka kembali berbalik dan menatap benda itu. Dengan tergesa sang ibu keluar dari sana dengan jaket yang tersampir di lengannya, juga sepatu yang kemudian menyadarkan Saka bahwa dia hanya mengenakan sendal rumahan biasa. Mereka tengah makan malam sebelumnya.
"Jangan pergi tanpa baju tebal, di luar sangat dingin. Pakai sepatumu," pesan sang ibu, seolah hal itu adalah yang paling penting untuk dirinya saat ini. Setelah memberikan dompet dan kunci mobil, wanita itu juga mengambilkan ponsel yang dia tinggalkan di dalam kamar. "Jangan lupa hubungi Mama jika kamu butuh apa-apa," imbuhnya.
Saka tersenyum dan berterimakasih, barang-barang ini adalah salah satu dari sekian benda yang dia beli dengan uangnya sendiri, dia bersukur kali ini.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...