Bab 7

357 124 15
                                    

Bak tersambar petir yang bahkan tidak turun hujan malam ini, Vanya begitu terkejut dengan pengakuan dari pria bernama Umam.

Umam adalah anak sahabat ayahnya, lulusan terbaik di universitas Jogja. Ayah Umam seorang pengusaha dan terkenal sebagai pemuka Agama, beliau ingin menjodohkan putranya dengan salah satu dari mereka.

Vanya pikir, pria itu akan memilihnya karena merasa lebih sempurna dari sang kakak. Astaghfirullah, kenapa dia bisa seyakin itu. Yang paling membuatnya merasa jijik pada dirinya sendiri, kenapa dia merasa lebih sempurna hanya karena bisa berbicara, sedangkan kakaknya tidak.

"MbakNya!"

Panggilan seseorang yang terdengar sedikit jengkel membuat Vanya terlonjak kaget, dia lalu mengerjap dan bertanya ada apa.

Saka berdecak sebal, dia lalu berpamitan untuk pulang.

Reflek Vanya mencegahnya agar tidak pergi. Dia teringat sesuatu, tentang pengakuannya pada sang kakak bahwa dia sangat menyukai pria bernama Umam itu, Vanya tidak mau Vidya menolak lamaran Umam hanya karena memikirkan perasaannya.

"Ikut aku." Vanya menarik pergelangan tangan seorang pria, yang baru saja dia ketahui namanya, dia berharap pria itu bisa diajak kerja sama.

Setelah mengumumkan bahwa dia ingin menikah pada kedua orangtuanya, Vanya lalu menunjuk Saka yang berdiri kebingungan di sebelah perempuan itu. Dalam hati Vanya berharap, Saka akan mengikuti permainannya.

"Setelah Mbak Vidya menikah, Vanya juga mau nikah," ucap Vanya dengan menoleh pada sang kakak, raut wajah perempuan itu tampak curiga. Vanya lalu mengalihkan tatapan pada Saka dan tersenyum kepadanya, tidak disangka pria itu juga membalas senyumannya.

"Vidya bahkan belum menjawab lamaran Nak Umam, bagaimana Vidya, apa kamu menerima Nak Umam?" Sang ibu mengambil kendali di ruang tamu yang tampak canggung, ayah Vanya terlihat lebih sibuk memperhatikan sosok pria yang dibawa putrinya.

Vanya mencoba menekan perasaannya untuk menuntun sang kakak mengangguk. Mas Umam adalah calon suami yang terbaik untuk Vidya, jika bukan dengan pria itu, Vanya tidak yakin Vidya akan mendapatkan calon suami yang bisa dipercaya untuk menjaganya.

Ada sesuatu yang terasa jatuh dalam dada Vanya, ketika kakaknya itu mengangguk menerima lamaran pria yang diam-diam ternyata dicintai mereka berdua, hatinya hancur berkeping-keping, meski bersamaan dengan itu dia sedikit merasa lega.

Seseorang yang berdiri di sebelah Vanya meremas jemarinya, entah sejak kapan tangan mereka saling bertaut. Gerakan itu berhasil menguatkan dirinya.

"Yaudah lanjutin aja ngobrolnya, Mas Saka juga udah mau pulang." Vanya beralih menggenggam lengan Saka dan kembali menariknya keluar rumah, baru sampai di ambang pintu, ayaah Vanya pun memanggilnya.

"Tunggu sebentar." Pria paruh baya itu beranjak berdiri, membuat Vanya dan Saka berhenti dan mau tidak mau menatapnya. "Kembalilah besok malam, Nak Saka. Saya ingin bicara."

"Tapi, Abi. Mas Saka harus–,"

"Ya, Om. Saya akan kembali besok."

Vanya terkejut dengan ucapan pria di sebelahnya, tidak menyangka tentu saja. Dan setelah berpamitan, kali ini Saka yang menarik perempuan itu keluar dari rumah.

"Lo ada masalah hidup apa si, MbakNya. Nggak usah bawa-bawa gue lah," omel Saka dengan melipat lengan di depan dada. Mereka kini berdiri di luar pagar.

Sebelum menjawab, Vanya menoleh kembali ke dalam rumah, memastikan tidak ada yang mengikuti mereka, lalu kembali menatap Saka yang juga tengah begitu sengit menatapnya.

"Maaf," ucap Vanya lirih, dia lalu berterimakasih karena pria itu mau mengerti posisinya. "Aku takut Mbak Vidya nolak Mas Umam."

"Terus, hubungannya sama gue?" Saka menunjuk hidungnya sendiri.

Sesaat Vanya bingung darimana menjelaskannya, dengan ragu dia lalu mulai berdusta. "Kami sangat dekat, Mbak Vidya pasti menolak Mas Umam kalo aku juga belum punya calon," jeda, Vanya melirik sekilas ke wajah tampan Saka dan kembali beralih menatap selokan di bawahnya. Ya, itu lebih menenangkan dibandingkan mereka harus saling pandang lama-lama, jantungnya berdebar tidak seperti biasa, mungkin efek dari kebohongannya.

"Terus?" Desak Saka, sepertinya ingin tahu alasan perempuan itu mengaku sebagai pasangannya.

"Kalo Mbak Vidya tau aku udah punya calon suami, dia pasti mau terima Mas Umam."

Saka terlihat tidak percaya, namun tampaknya terlalu malas untuk meminta penjelasan lebih lanjut pada perempuan di hadapannya. "Terserah lo lah," tukas pria itu.

"Kamu nggak harus dateng ke sini besok, nanti aku kasih alasan buat Abi." Vanya memberi keputusan.

"Gue nggak bisa ingkar janji. Kalo gue bilang mau dateng ya dateng."

Vanya menatap pria di hadapannya dengan heran. "Nggak usah diseriusin kali, anggap aja nggak terjadi apa-apa. Setelah beberapa lama, aku bakal bilang sama mereka bahwa hubungan kita ternyata nggak bertahan lama," ucapnya.

Saka mengerutkan alisnya skeptis. "Simpan rencana lo buat lusa, karena besok gue harus tetep dateng nemuin bokap lo, setelah itu terserah."

"Tapi jangan bilang sama Abi kalo kita hanya pura-pura boleh, nggak?" mohon Vanya. "Tunggu sampe mereka bener-bener nikah."

"Dan selama itu gue harus pura-pura jadi pacar lo?"

"Aku cuma butuh status aja kok. Kamu ngga perlu menjalankan peran jadi pacar juga, nanti aku bakal bilang kalo kita udah putus."

"Gue nggak pernah punya mantan yang nggak gue apa-apain."

Vanya membelalakan mata, terkejut tentu saja. Dia ingin mengumpat, tapi tidak bisa.

"Bercanda, MbakNya," goda Saka. "Syok banget muka lo."

"Nggak lucu."

"Iya tau." Saka mengeluarkan kunci mobil dari saku celananya. "Gue balik," ucap pria itu.

Vanya menoleh ke arah mobil yang terpakir di tepi jalan itu, dia tidak menyangka semewah itu kendaraannya. "Kamu kerja apa?"

"Supir Ralia."

"Ooh." Vanya percaya, Ralia adalah seorang artis, mungkin selain menjadi supir, pria itu juga jadi manajer untuk adiknya. Dengan Ralia, Vanya memang belum kenal terlalu lama.

"Besok gue ke sini lagi," ucap Saka setelah membuka pintu mobilnya.

"Aku bilang nggak usah. Aku bisa kasih alasan ke Abi kalo kamu nggak bisa dateng."

"Gue udah janji dan gue bakal tetep dateng. Siapa tau bokap lo butuh temen buat main catur, gue nganggur soalnya."

Setelah melontarkan pengakuannya itu, Saka pun masuk ke dalam mobil, sedangkan Vanya masih membeku di tempatnya. Sampai akhirnya kendaraan itu melaju pergi melewati dirinya

"Sial, aku harus ngomong apa sama Abi. Masa calon suamiku pengangguran." Vanya jadi frustrasi, kenapa dia bisa seceroboh ini.

***

Saka pulang ke apartemen yang ditempati Ralia, perempuan itu meminta agar mereka tinggal bersama saja. Saka kemudian setuju, toh mereka adik kakak, sejak kecil Ralia memang selalu menempel kepadanya. Besok mungkin Saka akan menemui sang sepupu dan mengembalikan kunci apartemennya, dia tidak jadi tinggal di sana.

Pria itu mencari kartu untuk membuka pintu di hadapannya, setelah tidak menemukan benda itu di saku celana, dia lalu beralih meraba saku kemeja dan menemukan sesuatu di sana.

Buku kecil Vidya, dia lupa kenapa tidak dititipkan saja pada Vanya.

Sembari membuka pintu dan masuk ke dalam ruangan, Saka memperhatikan benda di tangannya dengan seksama.

Tulisan di sampul buku itu sedikit membuatnya terenyuh. "Dunia tanpa suara," bacanya.

Saka ragu, apakah sopan dia membuka benda itu. Tapi tentu saja dia tidak mungkin untuk tidak membukanya.

***

Iklan.

Netizen: Jan bilang itu buku isinya cicilan daster si Pidia nih ya 😒
Author: Ya enggak lah, cicilan gamis dong kan dia uhti uhti.
Netizen: Tapi gue si curiga itu catatan cicilan panci uminya.
Author: Serah lu aja dah 😒

Sincerity (tamat di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang