Bab 10

341 113 17
                                    

Vanya tidak menyangka ternyata kakak laki-lakinya kenal dengan Saka. Dia pikir keluarganya tidak akan menyukai pria itu, tapi kini malah mereka terdengar akrab mengobrol di ruang tamu.

Vanya menguping percakapan mereka di balik tembok penghubung ruangan itu. Dari yang dia curi dengar, sang kakak mengenalkan Saka pada ayah mereka, sebagai orang yang berminat membeli ruko bekas toko mebel yang ingin dijual keluarganya.

"Ngapain kamu di sini?"

Pertanyaan itu membuat Vanya sedikit terlonjak, sang ibu dengan nampan berisi tiga cangkir kopi menghampirinya. "Ummi ngagetin Vanya aja, ih," keluhnya.

Wanita itu sedikit tertawa. "Anterin sana, sekalian temenin Nak Saka-nya, malah ngumpet di sini."

Vanya reflek menerima nampan dari sang ibu ketika wanita itu menyodorkannya, dia lalu merengek. "Ummi aja deh yang kasih, Vanya malu."

"Udah sana kamu aja, sekalian ikut ngobrol, biar kamu tau Abi kamu suka apa nggak sama calon mantunya."

Vanya mencebikkan bibir, rasanya dia ingin bercerita pada wanita kesayangannya itu bahwa Saka bukan calon suaminya, dan dia berharap ayahnya tidak menyukai pria itu tentu saja.

Demi menuruti permintaan ibunya, Vanya lalu ikut bergabung di ruang tamu dengan duduk di sebelah Vandi, kakak laki-lakinya yang juga tinggal di rumah ini.

"Diminum kopinya, Nak Saka." Ayah Vanya menawarkan dengan ramah.

"Terimakasih, Om."

"Panggil Abi saja."

Vanya membulatkan mata, bisa-bisanya ayahnya itu terlihat sangat menyukai pria asing yang saat ini bersama mereka.

"Jadi Nak Saka ini sekarang tidak bekerja?"

"Iya, Om. Eh, Abi. Saya pengangguran sejak tiga hari yang lalu." Dengan jujur Saka bercerita, pria itu lalu menoleh pada Vanya, seolah berkata bahwa dia telah menjalankan tugasnya, menjadi calon menantu yang tidak baik di depan keluarga perempuan itu.

"Tidak apa, Nak Saka. Saya malah salut Nak Saka mau membuka usaha sendiri?"

Saka meringis, terlihat merasa bersalah pada Vanya. "Iya," ucapnya.

"Kalo boleh tau mau dibuat apa ruko itu?" Vandi bertanya.

Dengan lugas Saka menceritakan niatannya yang ingin membuka sebuah Cafe di tempat itu. Setau Vanya ruko milik ayahnya memang dekat sekali dengan gedung universitas. Saka berkata bahwa target pasarnya adalah para mahasiswa yang berkuliah di sana.

Vandi tampak mengangguk. "Seharusnya dulu aku bisa berpikir seperti itu sebelum membuka toko mebel di sana, ternyata kurang laku," ucapnya dengan sedikit tertawa.

Vanya memperhatikan ayahnya yang tampak menyimak Saka berbicara, baru kali ini pria paruh baya itu terlihat antusias dengan tamu mereka. Karena bahkan dengan Mas Umam, ayahnya itu terlihat biasa saja.

"Saya suka dengan anak muda yang berani membuka usaha seperti Nak Saka. Saat Vandi mengutarakan niatnya ingin menaruh cabang toko mebel di sana, saya langsung setuju saja. Masalah lokasi, saya serahkan saja pada Vandi. Tapi tidak apa-apa, jadikan pelajaran saja."

Vanya beralih menatap Saka yang tampak tersenyum, tatapannya seolah berkata bahwa dia begitu mengagumi  ayah Vanya, yang terdengar bijak menanggapi kecerobohan putranya. Apa mungkin ayah Saka tidak seperti itu, atau bahkan pria itu tidak punya ayah.

Pertanyaan Vanya lalu tersampaikan lewat sang kakak. "Pak Saka, keluarganya tinggal di mana?"

Saka terlihat canggung. "Jangan panggil Pak, Mas Vandi. Panggil Saka aja."

Sincerity (tamat di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang