Menjelang sore, Saka memembeli stok makanan untuk di apartemen. Dia juga tidak punya baju ganti, pakaian yang dia miliki hanya yang melekat di tubuhnya saja. Saka memutuskan untuk membelinya beberapa, karena banyak pakaiannya di apartemen yang ditempati Ralia.
Dia sudah biasa se-mandiri ini, membeli apapun sendiri dan pulang ke apartemen pun di sana dia juga sendiri. Tapi entah kenapa rasanya sedikit berbeda, seperti benar-benar tidak punya siapa-siapa. Dan yang membuatnya semakin merasa aneh, besok dia tidak perlu berangkat bekerja. Pada saat itu juga, dia resmi menjadi pengangguran.
Sejenak Saka berpikir ketika sedang mengantri di depan meja kasir untuk membayar belanjaannya, haruskah dia mencari pekerjaan. Tapi sepertinya untuk sekarang ini dia belum perlu, anggap saja sedang liburan.
"Maaf, Mas. Apa ada kartu yang lain? Ini tidak bisa," ucap Mbak kasir sembari mengembalikan credit card yang diberikan Saka. Dia kembali mengingat pesan Zaki tentang semua fasilitas yang akan dicabut oleh ayahnya.
Saka mengambil debit card miliknya dan membayarnya menggunakan benda itu. Sang ayah sepertinya tidak main-main dengan ancamannya, tapi Saka tidak akan secepat ini menyerah.
Ketika masuk ke dalam mobil, Saka mendapat telepon dari sang ibu yang menanyakan keadaannya. Wanita itu tampaknya sudah tahu apa yang telah dilakukan suaminya.
"Aku baik-baik aja, Ma. Baru juga sehari," balas Saka setelah menghela napas. Apa memang dia terdengar selemah itu.
Di seberang telepon, ibunya bertanya tentang sudut bibir Saka yang membiru, mamanya itu pasti mendapat pengaduan dari Zaki. Saka pun meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Sang ibu membujuk Saka untuk meminta maaf pada ayahnya, berharap hal itu akan menyelesaikan masalah di antara mereka. Tapi Saka merasa tidak dalam situasi bersalah pada pria itu, jadi untuk apa dia minta maaf.
"Iya, Ma. Nanti aku kabarin lagi." Saka menutup sambungan telepon, setelah mereka mengobrol beberapa lama. Ibunya berpesan untuk segera menghubunginya jika terjadi apa-apa.
Ketika memeriksa ponsel di tangannya, Saka mendapat pesan dari sang adik yang meminta dijemput sore ini, dia jadi berpikir apa sebaiknya ia bekerja menjadi supir pribadi gadis itu saja.
.
"Kak Saka lama banget si, temen akunya jadi udah pulang kan." Ralia menggerutu saat masuk ke dalam mobil. Seperti biasa, dia melemparkan semua kerepotannya ke kursi belakang. Tapi kali ini perempuan itu sedikit tertegun dengan banyaknya belanjaan di sana. "Tumben?" tanyanya.
Sesaat Saka menoleh sebelum melajukan kendaraan, dia jadi bingung harus menjawab apa. Haruskah Saka jujur pada gadis itu tentang pengusirannya dari rumah.
"Kakak niat mau minta maaf nggak sih?"
Belum sempat Saka menjawab pertanyaan pertama adiknya, gadis itu sudah mengalihkan ke pertanyaan selanjutnya.
"Orang gue udah minta maaf." Saka masih kekeh dengan keyakinannya, bahwa dia sudah meminta maaf pada teman Ralia yang bernama Vanya. "Beneran gue udah ketemu sama dia. Lo nggak percayaan banget."
"Nggak mungkin, Kak. Vanya masih ada di lokasi sampe sore tadi," balas Ralia yakin.
"Masa gue salah orang, mukanya sama kok."
"Kayaknya Kakak tuh ketemu sama kembarannya deh," ucap Ralia menduga.
"Dia punya kembaran?"
"Iya. Dia pake hijab lebar kan?"
Sesaat Saka mengingat. Penampilan wanita yang ditemuinya memang terlihat begitu syar'i, berbeda dengan Vanya yang menonjoknya sampai pingsan pagi tadi. Meskipun wajahnya memang mirip sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...