"Ralia cuma mau pengakuan dari Papa, dia hanya ingin merasakan punya ayah." Saka kembali membujuk sang papa ketika mereka tengah makan malam bersama.
Ralia adalah adik tiri Saka, anak bungsu yang lahir dari kesalahan ayah mereka dan kemudian tidak diakui olehnya. Saka merasa kasihan pada gadis itu.
"Jika kamu masih membahas anak itu lagi dan tidak mau menerima keputusan papa, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" Dirgantara pun murka, ditatapnya tajam sang putra dengan kejengkelan di raut wajahnya.
Dengan berani Saka balas menatap papanya. Dia tahu, dulu dengan ibunda Ralia, mereka memang sudah sepakat untuk memutus hubungan dan memberi uang dalam jumlah banyak. Tapi, bukankah tidak ada yang bisa memutus ikatan antara ayah dengan anaknya. "Jika itu yang papa mau–,"
"Saka!" Seorang wanita paruh baya yang berada di ruang makan bersama mereka pun ikut bersuara. "Berhenti memikirkan orang lain, sudah saatnya kamu memikirkan dirimu sendiri," imbuhnya.
Sesaat Saka terdiam, dia yakin marahnya sang papa bukan karena itu. Ada hal lain yang membuat papanya menginginkan dirinya untuk pergi. Ini adalah kesalahan kecil yang pria paruh baya itu tengah nanti.
Saka beranjak dari kursi yang dia duduki, saat dia memutuskan untuk melangkah pergi, dia tahu bahwa mulai saat ini dia harus bisa berdiri sendiri.
Bahkan sang ayah memberi peringatan untuk menghapuskan Dirgantara dari nama belakang putra ketiganya.
"Terus, Tante Sintya gimana?"
Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Saka tentang perdebatannya dengan sang ayah semalam, hari minggu ini dia tengah berada di rumah Kafa, kakak sepupu yang sudah menikah dengan wanita yang dipilihkan oleh Saka, mereka sempat menjadi rifal pada masanya.
"Ya nangis." Dengan lemah Saka menjawab.
Wanita hamil yang duduk di sebelahnya itu terlihat ikut kecewa. Saka bukan anak tunggal, tapi dia adalah satu-satunya anak yang tinggal bersama keluarga karena kasihan pada sang ibu, setelah kakak perempuannya memilih kabur dari rumah dan kakak lelaki pertamanya meninggal dunia.
Saka pikir akan bisa bertahan di rumah itu dengan semua tekanan yang diberikan oleh ayahnya, tapi ternyata dia menyerah. Saka tidak ingin bernasib sama seperti Sakti, Kakak pertamanya yang meninggal dan dinyatakan mengalami depresi.
"Ralia tau nggak, kamu diusir dari rumah gara-gara belain dia?" Yaiza, istri sepupunya itu kembali bertanya.
Saka menggeleng. "Belum. Gue belum siap ngasih taunya."
Semalam ketika mengantarkan gadis itu pulang, Saka menginap di hotel dan kemudian ke rumah Kafa keesokan paginya. Kafa masih mandi dan dia pun mengobrol dengan istri sang sepupu, menceritakan apa yang terjadi kepadanya.
"Kak Iza, tolong bukain ini dong." Clowy, adik Kafa menyodorkan sebungkus keripik kentang pada kakak iparnya.
Berhubung Yaiza terlihat kerepotan dengan si kembar yang tengah aktif belajar berjalan, Saka lalu menawarkan diri untuk membantu bocah kelas satu sd itu membuka jajanan di tangannya.
"Makasih, Om Saka." Clowy duduk di sebelahnya.
"Hmm." Saka hanya bergumam sebagai tanggapan, dia lalu mengusap kepala Clowy. Anak itu sungguh kasihan sekali, setelah ditinggal papanya pergi dari dunia ini, ibunya juga dinyatakan gila dan dirawat di rumah sakit jiwa. "Dibilangin kamu tuh panggilnya, Saka aja," ucapnya.
Clowy menoleh, menatap pria di sebelahnya. Mereka sering membahas hal ini sebelumnya. "Nggak, Om aja. Om Saka kan udah gede."
Saka mengacak rambut Clowy gemas. "Susah banget diajarin yang bener."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...