"Selamat pagi, calon ibu dari anak-anakku." Saka tersenyum jahil pada perempuan yang baru saja membuka pintu mobilnya. Bukan membalas sapaan pria itu, Vanya justru tampak terkejut.
"Udah siap, Nya. Ayo naik." Ralia yang duduk di kursi depan menyuruh temannya untuk segera masuk.
"Kok sama kakak kamu sih, katanya cuma berdua sama supir," protes Vanya, terlihat keberatan dengan keberadaan Saka.
Saka menoleh pada Ralia. "Lo nggak bilang?" tudingnya.
Ralia meringis. "Kakak kan di sini jadi supir aku, 'kan? Nggak salah dong."
"Kayaknya aku nggak jadi ikut deh."
Keputusan Vanya membuat kakak beradik di hadapannya itu kompak menoleh.
"Yaaah, Nya. Kenapa?" rengek Ralia yang terlihat begitu kecewa.
"Kenapa kamu bilang supir, kenapa nggak bilang dari awal kalo kamu liburan sama kakak kamu." Vanya menarik kembali tas ransel yang sudah ia letakan ke atas kursi, lalu menyampirkan di pundaknya.
Saka membuka pintu dan keluar dari balik kemudi. "Kan gue emang supirnya Ralia," ucapnya dengan sedikit tertawa.
Ralia ikut menyembul dari pintu yang terbuka. "Iya, Nya. Maaf deh kalo aku nggak bilang, lagian kamu nggak nanya supir aku siapa. Kirain kamu tau."
"Ralia," geram Vanya, "kamu sengaja kan?" tuduhnya.
Bukan mengelak, Ralia justru tertawa. "Ya sebenernya bukan sengaja sih, cuman sempet aneh aja kamu nggak nanya supirku siapa, aku pikir kamu udah tau, beneran deh."
Vanya melengos, sepertinya perempuan itu merasa dijebak. Bukan iba, Saka tertawa melihat ekspresi wajahnya.
Saka mengambil tas ransel dari bahu Vanya, namun gadis itu menahannya. "Emang kenapa kalo ada gue, kan di sini tugas gue cuma jadi supir, apa bedanya sama supir Ralia yang lain."
Vanya terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi.
Saka menoleh ke arah gerbang rumah keluarga Vanya, lalu kembali menatap perempuan itu. "Masuk ke rumah lo dulu mau? Biar gue izin dulu sama bokap lo."
"Nggak!" Dengan cepat Vanya menggeleng. "Aku udah bilang cuma liburan sama temen, nggak ada kamunya."
"Lo nggak bilang liburan sama calon adik ipar?" goda Saka.
Vanya berdecak sebal. "Orangtuaku cuma tau aku pergi sama temen perempuan, lagian aku nggak mau keliatan deket sama kamu."
"Kenapa?" tanya Saka. "Kita kan pasangan."
"Mas Saka. Kita ini cuma pura-pura ya, setelah Mbak Vidya menikah dan kamu beli ruko milik Abi, aku bakal bilang sama keluargaku kalo kita udah putus."
"Ya makanya sebelum putus kita liburan dulu." Saka terlihat santai menanggapi keterangan itu.
"Ayo dong, Nya. Lagian lebih aman sama Kak Saka daripada sama supir-supir yang lain. Dijamin deh," bujuk Ralia.
Vanya terlihat pasrah, kembali bergerak ke arah pintu dan menaruh tas ranselnya di sana.
"Yakin nggak mau ke rumah dulu?" tawar Saka lagi, "izin sama bokap lo."
"Nggak perlu," balas Vanya.
Saka menatap perempuan itu sedikit lebih lama, memastikan apakah Vanya merasa tidak nyaman berlibur dengan mereka, namun yang terbayang di kepalanya justru informasi laknat dari Ralia.
Vanya menyilangkan kedua tanganya di depan dada. "Mata lo dijaga ya!" serangnya.
Saka mundur satu langkah ketika tangan perempuan itu terangkat ke arahnya. "Gue cuma mau kasitau, kancing kemeja lo salah masangnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...