Bab 8

366 122 8
                                    

Setelah masuk dan menaruh sepatu di tempat biasa, Saka hendak membuka buku kecil di tangannya ketika sang adik yang keluar dari kamar membuat dia reflek mendongak.

"Kakak udah pulang?" Ralia bertanya dengan mengucek sebelah matanya. "Kok cepet?"

Saka sedikit berdecak. "Ngapain lama-lama, emangnya gue ngapel."

"Ya emang ngapelin temen aku, 'kan?" Cibir gadis itu.

Saka mendekat, menjitak kepala adiknya pelan. "Lo nggak ngomong si kalo temen lo udah maafin gue, harusnya gue tuh nggak usah repot-repot nyari rumahnya."

Ralia mengusap bagian kepala yang terkena jitakan itu dengan wajah cemberut. "Kakak nggak nanya," tukasnya, perhatian gadis itu lalu berpusat pada buku kecil di tangan sang kakak. "Itu apa?"

Saka ikut menatap benda itu, kemudian memasukkan ke saku kemeja. "Bukan urusan lo," jawabnya ketus, berjalan menuju kamarnya.

"Kak. Tadi Tante Sintya ke sini."

Informasi itu membuat Saka menghentikan langkah, kemudian menoleh dan mendekati Ralia. "Lo nggak diapa-apain, 'kan?" tanyanya khawatir.

Sintya adalah ibu Saka, wanita itu kurang suka dengan Ralia, karena bagaimanapun juga Ralia adalah anak dari selingkuhan suaminya. Saka sering membujuk ibunya bahwa Ralia tidak bersalah, tapi sepertinya cukup sulit untuk wanita itu menerima keberadaan Ralia.

Ralia tersenyum, kemudian menggeleng. "Nggak, kok. Tadi dia nyariin Kakak."

Saka menurunkan kedua tangannya dari bahu sang adik, merasa lega jika tidak ada hal buruk yang terjadi di antara mereka. "Terus?"

"Dia bawain makanan terus aku taro aja di kulkas, kalo Kakak mau makan bilang aja nanti aku bantu angetin."

Bukan senang mendapat perhatian dari adiknya itu, Saka justru malah curiga. "Tumben," sindirnya.

Ralia yang tertawa kecil lalu bergelayut di lengan kakaknya. "Tante Sintya nitipin Kakak sama aku, katanya tolong jagain ya."

Saka mengernyit sinis. "Padahal selama ini gue yang jagain lo."

Ralia tertawa, gadis itu terlihat senang bisa dianggap berguna oleh ibu tirinya. "Tadi kata Tante Sintya, aku jangan lupa makan dan jangan jajan sembarangan. Aku diperhatiin, Kak. Seneng banget."

Saka yang sebenarnya ikut senang dengan kebahagiaan sang adik pun berpura-pura memberikan tatapan sinis. "Lo nggak boleh banyak jajan biar duit gue nggak abis," ralatnya dengan menoyor kening gadis itu.

Ralia melepaskan rangkulan tangannya dari lengan Saka, lalu memukul bahu pria itu. "Nggak bisa banget liat orang seneng, ih," omelnya.

Saka tertawa, mengusap puncak kepala Ralia. "Yaudah tidur sana, besok lo ada syuting pagi, 'kan?"

"Kakak belum cerita kenapa sampe diusir sama Papa."

"Mama nggak bilang?"

Ralia menggeleng. "Nggak."

"Nanti aja."

"Ih. Kalo nggak, Kakak cerita dong tadi ngapain aja di rumah Vanya," desak Ralia, mengikuti pria itu yang mulai melangkah menuju kamarnya.

"Nggak ngapa-ngapain minta maaf doang."

"Kakak."

Saka menghentikan gerakan tangannya yang sudah membuka pintu, menoleh pada gadis itu. "Apa lagiii?"

"Minggu depan aku libur beberapa  hari, boleh ke rumah mama nggak? Aku kangen sama mama."

Saka terlihat ragu, dia punya alasan kenapa memutuskan untuk merawat Ralia, menjauhkan dari ibunya. Tapi melihat Ralia rindu pada wanita itu dia tentu tidak tega.

Sincerity (tamat di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang