Ralia terlihat begitu marah pada ibunya, dia ingin menyerang wanita itu tapi Saka mencegahnya.
"Kenapa Mama pukul Kak saka! Kenapa!" Ralia berteriak histeris.
"Ralia." Dari arah belakang, Saka merangkulkan lengan pada pinggang gadis itu untuk menahannya agar tidak menghajar sang ibu.
Vanya ikut memegang lengan Ralia, menyuruh gadis itu untuk bersikap tenang.
Ratih meminta maaf, dia mengaku menyesal. Setelah menoleh pada suaminya yang masih tergeletak di lantai, dia kembali berkata. "Saya tidak mau kamu memukuli suami saya."
"Mama masih membela Om Hadi?" tanya Ralia tidak percaya.
"Dia suami Mama."
Jawaban itu membuat Ralia tampak kecewa, dia menggeleng. "Aku benci sama Mama, benci!"
Ratih hanya menangis menanggapi kemarahan putrinya, tapi wanita itu lebih memilih mendekati sang suami dan membantunya.
.
Vanya menoleh pada Saka yang terlihat pucat. Kerah baju yang dia kenakan sudah berlumuran darah, Vanya khawatir melihat keadaannya. "Mas, kamu butuh ke rumah sakit, nggak?" tanyanya.
Menyadari hal itu Ralia ikut panik. "Ayo cari rumah sakit, Kak," ajaknya.
"Nggak. Gue nggak apa-apa." Saka mencoba meyakinkan, namun gagal karena kondisinya tidak menunjukkan demikian.
"Kamu pucet banget, Mas. Kamu butuh obat," bujuk Vanya.
Ralia mengemasi barang-barangnya yang ia simpan di atas dipan. "Ini terakhir kali aku ke sini, Ma. Kalo Mama masih peduli sama aku, Mama aja yang ke kota, aku nggak akan pernah ke sini lagi," tegasnya.
Setelah Vanya ikut mengemasi barang-barangnya juga, mereka lalu memutuskan untuk pergi dari sana dan menghampiri mobil Saka.
"Aku aja yang nyetir, kita cari rumah sakit dulu abis itu penginapan. Aku nggak mau ke sini lagi." Ralia mengambil kunci mobil dari tangan Saka, namun pria itu melarangnya.
"Gue masih bisa nyetir."
"Nggak, Kakak duduk di belakang aja sama Vanya, biar aku yang bawa mobil."
"Aku setuju sama Ralia, kamu udah pucet banget." Vanya ikut geram dengan tindakan ibunda Ralia, akhirnya sekarang dia tahu alasan Saka membawa adiknya untuk tinggal di kota bersamanya.
Di dalam mobil, Vanya mencuri pandang sesekali pada Saka yang duduk di sebelahnya. Kedua mata pria itu tampak sayu.
"Mas Saka?"
Saka menoleh. "Iya?" jawabnya lemah.
"Masih sakit?"
Pria itu menggeleng, entah jujur atau hanya ingin membuatnya merasa tenang, raut wajahnya menunjukkan kebohongan.
"Cuma sedikit pusing aja," balas pria itu, suaranya sedikit serak. Dia lalu menatap bahu Vanya, terlihat ragu namun kemudian menggerakkan tubuhnya. "Minjem, ya," izinnya.
Vanya menahan napas ketika Saka menempelkan kepala di bahunya, belum ada seorang pun pria yang sedekat ini sebelumnya. Tapi dia berusaha untuk tenang dan tetap diam saja.
.
Mereka merasa lega saat dokter yang memeriksa kondisi Saka berkata tidak ada yang serius dengan lukanya, rasa pusing dan nyeri memang wajar efek benturan, tapi setelah beristirahat dan meminum obat kondisinya akan kembali pulih dengan cepat. Begitu katanya.
Ralia juga dengan mudah menemukan penginapan di daerah situ, masih di dekat pantai, satu rumah minimalis dengan dua kamar dan dapur juga kamar mandi dan ruang tamu yang lengkap dengan barang-barangnya. Dari jendela yang terbuka Vanya bisa melihat hamparan laut karena letak bangunannya cukup tinggi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...