Dua hari yang lalu, Mas Umam kembali datang beserta keluarganya untuk melamar Mbak Vidya dan menentukan tanggal pernikahan mereka. Hari ini sang kakak mendapat jadwal untuk fitting baju kebaya, yang akan dikenakan saat pesta.
Vanya menghindari semua hal yang berbau rencana pernikahan sang kakak, dia tidak ingin ikut campur dengan kesibukan mereka. Tapi sore ini, ketika Vidya tidak dapat hadir karena sakit kepala, sang ibu meminta Vanya untuk ikut dan mencoba kebaya yang akan dikenakan kakaknya.
"Besok udah nggak sempet, soalnya mau ngurusin yang lain. Nggak apa-apa, 'kan?" tanya sang ibu. "Ummi minta bantuan kamu buat nyobain bajunya, perawakan kalian kan sama."
Vanya yang duduk di sebelah wanita itu ketika berada di dalam mobil hanya mengangguk, dia lalu menempelkan kepalanya pada kaca. Sudahkah ia merelakan nama yang setiap sholat ia bisikkan di sujud terakhirnya, ikhlaskah dia membiarkan pria itu menikahi wanita selain dirinya. Tapi tidak apa, wanita beruntung itu adalah saudara kembarnya, dia tentu harus ikut bahagia.
Toh perasaan itu hanya Vanya yang punya, Umam samasekali tidak mencintainya, tidak akan bagus juga jika dia terus memaksa.
Ada dua kebaya berwarna putih dengan motif dan corak yang berbeda, Vanya mencoba keduanya. Ketika dia lebih suka kebaya pertama, sang kakak justru memilih kebaya ke dua ketika mereka menghubunginya.
"Padahal bagusan yang pertama ya, Mi," ucap Vanya pada ibunya, masih menyayangkan dengan pilihan sang kakak, meski sama-sama cantik, tapi hatinya sudah terpikat dengan baju yang pertama.
"Iya, nanti itu buat kamu aja kalo mau nikah." Sang ibu mengusap lengan putrinya.
Mungkin kalimat itu hanya sekadar candaan bagi sang ibu, tapi entah kenapa Vanya begitu sedih saat mendengarnya. "Menikah dengan siapa, calonnya saja belum ada."
"Kan ada Nak Saka."
Vanya lupa, pria itu sekarang adalah calon suaminya, meskipun pura-pura.
"Nak Saka kok nggak keliatan nganterin kamu pulang kerja, kalian baik-baik aja kan?" Widya, ibunya itu bertanya. Ketika mereka masih di dalam toko baju pengantin, untuk melihat-lihat gaun yang lain.
"Kita baik-baik aja, Mi. Katanya harus jaga jarak, nggak boleh sering berduaan dong," jawab Vanya, mencari alasan kenapa mereka tidak terlihat bersama.
"Ya kalo cuma nganterin pulang mah nggak apa-apa, Sayang. Kan bisa sekalian jemput adiknya yang artis itu. Kalian satu lokasi kan? Jadi nggak cuma berduaan."
"Kadang kan jadwal pulang kita beda, Mi. Nggak setiap hari bareng terus."
"Ooh. Yaudah nggak apa-apa, yang penting hubungan kalian baik-baik aja. Abi juga kayaknya suka deh sama dia."
Vanya menggaruk kepalanya dari balik kerudung, bagaimana mungkin mereka begitu menyukai Saka, jika nanti Vanya mengumumkan mereka tidak lagi bersama, orangtuanya pasti kecewa. "Belum tentu jodoh, Mi. Vanya nggak terlalu berharap juga."
"Makanya minta sama Allah biar berjodoh, kalo udah takdir segalanya jadi mudah kok, percaya deh." Wanita itu mencubit pelan pipi putrinya, kemudian melangkah pergi untuk menemui perancang busana yang masih kerabat jauh ibunya.
Vanya mengusap pipinya sendiri, katanya perasaan orangtua tidak pernah salah, jika mereka suka pada pria itu, mungkin Saka memang yang terbaik untuk dirinya. Tapi kan hubungan mereka tidak seperti yang orangtuanya kira.
"Jadi ini calon pengantinnya, udah cantik pake gaun apa aja pasti cocok deh." Seorang wanita paruh baya menghampiri Vanya, di belakangnya ada sang ibu yang terlihat ikut bangga.
"Tapi yang nikah buk–,"
"Iya, cariin ya, Mbak. Yang sederhana aja tapi mewah gitu, aku nggak terlalu suka gaun yang lebar nanti susah jalannya." Widya memberi penjelasan, masih ada dua gaun pengantin yang harus mereka pilih untuk berganti.
Vanya terdiam ketika sang ibu memotong ucapannya, wanita itu malah membiarkan si pemilik butik mengira bahwa dia yang menikah, tapi mungkin tidak masalah karena wajah kedua putrinya memang sama. Tapi kan Vanya jadi baper juga.
Sesamapainya di rumah, ayah Vanya ternyata tengah mengobrol dengan seorang tamu. Kedatangan Umam bertujuan untuk menjenguk calon istrinya yang sedang sakit, Vanya hanya sedikit menyapa, kemudian masuk ke dalam kamar.
Perempuan itu memastikan bahwa hatinya tidak apa-apa, dia sungguh baik-baik saja, meski tidak dapat dipungkiri bahwa perasaannya sedikit terluka.
"Kayaknya aku emang harus liburan deh." Vanya mengambil ponselnya, kemudian menghubungi Ralia. Berkata bahwa dia mau ikut dengan perempuan itu kemana saja.
***
Setelah proses syuting selesai, semua hasil pengambilan gambar itu akan dibawa ke rumah pascaproduksi. Pada tahap itu tentu Vanya tidak ikut andil dan sudah dibebaskan dari pekerjaan, Mbak Rika akan kembali mengabarinya jika ada proyek baru dan membutuhkan keahliannya.
Kemampuan Vanya dalam mengaplikasikan make up memang sudah diakui mereka, karakter apapun yang harus diperankan para aktor dan aktris bisa lebih kuat dengan bantuan dirinya.
Namun yang menjadi masalah dari semua kemampuannya itu adalah, ketika Vidya meminta dirinya untuk menjadi MUA untuk pernikahannya.
"Aku nggak bisa, Mbak." Dengan hati-hati Vanya menolak.
Vidya bertanya 'kenapa' dengan gestur wajahnya yang terlihat kecewa.
"Peralatan aku kan kurang lengkap." Vanya tidak berdusta mengenai hal itu, namun sang kakak berkata bahwa semua peralatan sudah disiapkan oleh penata rias yang disewa ayah mereka, tapi Vanya tetap ingin dirias oleh adiknya.
"Aku takut nggak sesuai harapan Mbak Vidya loh, aku kan cuma make up artis buat syuting." Vanya memang pernah merias seorang aktris untuk adegan menikah, tapi tentu saja berbeda jika itu untuk pernikahan sesungguhnya. "Aku nggak bisa," sesal perempuan itu, beruntung sang kakak tidak lagi memaksa.
Melihat Vanya tengah memasukkan beberapa baju ke dalam tas ranselnya,Vidya kemudian bertanya adiknya akan kemana.
"Aku mau liburan, Mbak. Nggak lama 'kok. Paling cuma tiga hari." Vanya menjelaskan sembari memasukkan beberapa kerudung ke dalam tas.
Vanya sedikit tertawa ketika dengan bahasa isyarat lewat kedua tangannya itu sang kakak berkata ingin ikut dengannya. "Nggak boleh lah, Mbak Vidya itu bentar lagi kan mau nikah. Nggak boleh kemana-mana."
Vidya memberenggut, terlihat kecewa. Perempuan itu lalu menyuruh sang adik untuk berhati-hati selama liburannya.
"Iya, Mbak. Makasih ya."
***
Pagi-pagi sekali Vanya sudah bersiap dan berpamitan pada ibunya yang tengah menyiapkan nasi goreng untuk sarapan, perempuan itu tampak terburu-buru ketika Ralia sudah mengabari bahwa dia sudah sampai di dekat rumahnya.
"Kenapa nggak sarapan dulu, ajak sekalian temen kamu masuk buat makan," ucap sang ibu. "Ummi sengaja masak pagi-pagi banget ini biar kamu makan dulu."
"Nggak bisa, Mi. Nanti kalo Nindy keburu bangun repot deh, dia pasti minta ikut," balas Vanya, menyebutkan nama keponakannya yang memang sering sekali merengek ingin ikut dengannya.
"Abi kamu juga belum keluar kamar."
"Nggak apa-apa, semalem Vanya udah izin kok, katanya boleh. Kan Vanya perginya cuma berdua aja sama temen cewek Vanya."
"Yang bawa mobil siapa?"
"Katanya ada supir dia. Yaudah ya, Mi. Nggak enak Vanya kalo kelamaan." Setelah mencium punggung tangan ibunya, Vanya setengah berlari menghampiri mobil yang terparkir tidak jauh dari rumahnya.
Suasana di luar masih sedikit gelap, bahkan embun yang menempel di dedaunan tanaman bunga sedikit membasahi ujung kulot yang dikenakan Vanya, ketika perempuan itu tidak sengaja menyenggolnya.
Vanya membuka pintu mobil bagian belakang, Ralia langsung menyambut kemunculannya dengan riang. Dan yang membuat Vanya terkejut, supir yang perempuan itu maksud ternyata— Saka.
"Selamat pagi, calon ibu dari anak-anakku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...