Bab 14

325 101 11
                                    

Vanya berkata jujur bahwa dia tidak suka dengan asap rokok, sebenarnya asap apapun dia tidak suka, rasanya menyesakkan dan tidak nyaman.

Saka kemudian menjauh saat menyulut sebatang rokok di tangannya, menghampiri dua anak muda yang merupakan tukang parkir di sana dan menawarkan sebungkus nikotin yang dia bawa. Pria itu bersandar pada dinding tembok pembatas, sesekali terlihat mengobrol dengan mereka.

Vanya sulit berpaling dari Saka yang terlihat kontras dengan dua pemuda yang lain, dari penampilan juga kulitnya yang bersih, Saka tampak jelas bukan salah satu warga di sini.

Entah sadar tengah diperhatikan atau memang tidak sengaja menoleh, pria itu balik menatap Vanya dengan mengembuskan asap putih dari bibirnya. Hal itu membuat Vanya sontak berpaling, entah kenapa dia merasa berdosa karena tidak bisa menjaga pandangannya.

Saat tengah berpura-pura sibuk dengan ponselnya, kehadiran Ralia membuat Vanya kemudian menoleh. "Beneran dapet?" tanyanya.

Ralia mengangguk, raut wajahnya terlihat tidak nyaman, haid hari pertama memang tidak menyenangkan. Sembari memegangi perutnya, perempuan itu menanyakan sang kakak, tapi segera menemukan keberadaan pria itu sebelum Vanya menjawabnya.

"Kak Saka itu kebiasaan banget ih, dibilang jangan ngerokok." Ralia mengomel sendiri.

"Kamu nggak suka asap rokok juga?" tanya Vanya.

Ralia menggeleng. "Bukan masalah asapnya, tapi dianya. Padahal jelas-jelas di bungkusnya tertulis bahwa merokok itu berbahaya."

Vanya tersenyum mendengar ocehan itu, tidak hanya Saka yang begitu menyayangi adiknya, Ralia juga terlihat memberikan perhatian yang sama. Dia dengan Kak Vandi bahkan tidak sedekat itu, atau mungkin karena kami mendapat cukup perhatian dari kedua orangtua, sedangkan mereka tidak. Terlihat sekali bahwa Saka maupun Ralia, saling menguatkan lewat kasih sayang yang mereka punya.

"Dia tuh nggak mau dengerin aku, tapi kalo lagi ngerokok pasti ngejauh." Sembari mencari entah apa di dalam tas kecilnya, Ralia terus bercerita.

"Tadi dia tanya ke aku, boleh ngerokok apa nggak. Terus aku bilang terserah, tapi aku juga jujur si nggak suka asep rokok, jadi dia ngejauh."

"Dia emang gitu, kalo ada oranglain dan mau ngerokok, pasti izin dulu. Soalnya dia takut ganggu."

"Ooh." Vanya mengangguk mengerti, entah kenapa dia merasa bodoh sekali karena berpikir Saka peduli kepadanya, padahal pria itu bersikap sama pada siapapun juga.

"Nanti kalo kalian jadi pasangan beneran, kamu harus larang dia ngerokok ya, dia pasti nurut sama kamu." Ralia mengajukan permintaan.

Vanya sontak tertawa. "Ngaco," tukasnya. "Mana ada," kilah perempuan itu.

"Ya siapa tau kalian beneran berjodoh," ucap Ralia yang tengah memegang kaca kecil di tangan, gadis itu tampak kembali memoleskan lipstik di bibirnya. 

"Udah?"

Suara Saka membuat kedua perempuan itu menoleh ke arahnya. Ralia berdecak kecil. "Nyebat aja terus."

"Nggak enak mulut gue." Saka duduk di balik kemudi, tampak membuka laci dashboard dan mengambil sesuatu dari dalam sana, "mau permen?"

Tawaran tiba-tiba itu membuat Vanya sedikit terkejut, dengan linglung dia lalu menerima sebutir permen yang diberikan pria itu, bungkus plastiknya berwarna merah, dia kurang suka rasa cherry.

"Ada yang rasa anggur nggak?" Vanya meminta pilihan.

Saka menoleh. "Tinggal satu udah gue makan, mau tukeran?" tawarnya dengan sedikit membuka mulut, untuk menunjukkan permen berwarna ungu di ujung lidahnya.

Sincerity (tamat di Karyakarsa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang