Baru juga Vanya berusaha untuk memperbaiki diri, ada saja ujian untuknya hari ini. Perempuan itu menghela napas, menatap lelaki di hadapannya yang dia yakini adalah kakak dari Ralia.
"Kayaknya lo salah paham deh, mendingan lo temuin adek lo dan tanya langsung sama dia," ucap Vanya, menahan diri untuk tidak langsung mengomel seperti biasa. Dia mengerti kenapa pria itu melabraknya.
"Apa alasan lo ribut sama adek gue?" Pria itu kembali bertanya.
"Nggak ada."
"Harusnya bisa dibicarakan baik-baik nggak usah pake kekerasan."
Vanya memijit keningnya. "Mendingan lo masuk, kalo nggak lo telepon adek lo, terus minta penjelasan aja sama dia," sarannya.
"Urusan gue sama lo."
"Tapi gue nggak merasa ada urusan sama lo." Nada bicara Vanya naik satu oktaf, emosinya mulai tersulut.
"Biasa aja dong. Gue kan nanya baik-baik." Pria itu pun tampak emosi.
"Tapi muka lo nyolot!" Vanya tidak mau kalah. Dia sudah ingin pergi, sebelum pria itu melontarkan kata-kata yang kemudian membuatnya marah sekali.
"Lo cewek, berhijab, tapi suka berantem dan pukulin orang. Nggak mencerminkan penampilan tau nggak."
"Sialan!" Vanya benar-benar murka, dia kehilangan kesabarannya. Tidak ada yang bisa dia ingat setelah itu, selain rasa kebas di buku jarinya.
*
"Kaaak!" Ralia setengah berlari menghampiri sang kakak yang saat ini berada di tengah kerumunan. Pria itu duduk di satu bangku dengan seorang kru yang mengipasinya, sedangkan yang lain tampak menonton.
Ralia bisa melihat salah satu dari mereka memegang gelas air putih yang sisa setenga isinya, bukan untuk minum, tapi untuk dipercikkan ke wajah sang kakak yang ternyata memejamkan mata.
"Aduh tega banget Si Anya, kok bisa dia nonjok orang sampe pingsan."
"Lo nggak tau, si Anya kan mantan atlet tinju pas sekolah."
"Bukan gue yang nggak tau, kayaknya ni orang yang nggak tau, lo salah apa si, Bang?"
"Misi-misi ini kakak aku." Ralia menerobos kerumunan, menyentuh lengan sang abang dan dengan kasar mengguncangnya. "Kak, bangun!"
"Pelan-pelan, Lia. Abang lo masih semaput." Salah satu dari mereka mengingatkan.
Saka terbangun, sebelah lubang hidungnya tersumbat kapas, sepertinya sempat mengeluarkan darah. Pria itu mengernyit.
Kesadaran abangnya itu membuat Ralia lega, dia lalu berterimakasih pada orang-orang di sana dan meminta maaf karena sudah membuat keributan dan menghambat pekerjaan mereka.
"Kakak nggak apa-apa? Inget aku nggak, aku siapa? Inget nggak?" Ralia bertanya saat mereka ditinggal hanya berdua. Kesadaran sang kakak tampak belum pulih sepenuhnya. Pria itu terlihat reflek memegangi kepala.
"Iya gue nggak amnesia," balas Saka dengan menegakkan duduknya, mencopot gumpalan kapas di hidung kemudian ia buang. "Gila tu cewek," gerutu pria itu, mungkin mengingat kejadian sebelumnya.
Bukan iba dengan apa yang menimpa sang kakak, Ralia justru memukul lengannya. "Kakak ngomong apa si sampe Anya semarah itu? Minta maaf!"
Saka yang semula terlihat pening, lalu menoleh dengan tatapan tajam di kedua matanya. "Gila lo ya, gue yang ditonjok masa gue yang minta maaf. Lo juga dipukulin kan sama dia?"
"Nggak!" Ralia dengan cepat menyangkalnya. Perempuan itu lalu bercerita tentang kejadian sebenarnya. "Kakak salah paham," lirihnya kemudian.
Saka menggelengkan kepala, terlihat tidak menyangka. "Bukan salah paham ini salah lo!" omelnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...