Sesampainya di kediaman ibu kandung Ralia, yang ternyata sebuah rumah makan sederhana di tepi pantai, mereka disambut dengan begitu ramah.
Vanya ikut terharu saat melihat Ralia melepas rindu pada ibunya, lebih menyentuh lagi ketika melihat ketulusan Saka yang terpancar dari tatapan matanya.
Saka sepertinya amat bahagia, melihat sang adik berjumpa dengan ibu kandung yang sudah lama tak ditemuinya.
Di rumah makan itu tidak terlalu ramai, hanya ada satu dua pelanggan yang tengah makan, mungkin karena bukan hari libur. Setelah istirahat sejenak, ibunda Ralia menyuruh mereka untuk makan bersama.
Vanya senang berada di tempat itu, suasana di sana tentu berbeda dengan di kota, meskipun dingin dan debur ombak sedikit membuatnya merasa takut, tapi dia cukup menikmati liburan di tempat ini, terlebih masakan ibu Ralia ternyata enak sekali.
Rumah makan itu berlantai dua, di atas ada dua kamar dan ruang tamu yang bersih dan nyaman, menjelang malam Vanya beristirahat dan sholat di sana, kemudian turun untuk mencari keberadaan temannya.
Ralia tampak asik mengobrol dengan sang ibu, sembari memisahkan kerang rebus dari cangkang yang katanya untuk dimasak makan malam.
"Kenapa dikupas?" tanya Vanya, setahu dia kerang seperti ini biasa dimasak dengan cangkangnya.
"Kata mamaku biar gampang makannya terus lebih bersih juga," balas Ralia, kemudian menoleh pada sang ibu yang tersenyum kepadanya.
Vanya ikut mengambil satu kerang dan membantu memisahkan dari cangkang, namun ibunda Ralia melarangnya dan menyuruh untuk beristirahat saja.
"Iya, Nya. Mendingan kamu samperin Kak Saka gih, dia di depan kayaknya. Sekalian bawain jaketnya takut masuk angin." Ralia memberi saran.
Vanya menoleh ke arah dipan yang digunakan untuk beristirahat di belakang mereka, menemukan jaket Saka tergeletak di sana. Perempuan itu ingin menolak dan memilih untuk membantu ibu Ralia saja, tapi dia tidak enak jika harus menganggu kebersamaan mereka. Pasti banyak yang ingin Ralia ceritakan pada ibunya setelah sekian lama.
"Yaudah, aku samperin Mas Saka deh," ucap Vanya dengan beranjak dari kursi, lalu mengambil jaket pria itu dan membawanya.
Saka tampak duduk di atas bebatuan, yang sepertinya sengaja disusun memanjang, untuk menjadi tembok pembatas di tepian pantai itu. Menyadari kedatangan seseorang, dia pun menoleh.
"Ralia suruh aku buat anterin jaket ini," ucap Vanya dengan menunjukkan jaket yang tersampir di lengannya.
Saka beranjak berdiri, bukannya turun pria itu malah menyuruh Vanya untuk naik. Dia mengulurkan tangannya.
Vanya menyambut uluran tangan itu, dengan pelan memilih permukaan yang akan dia injak, bebatuan yang tersusun menggunung itu tidak terlalu tinggi, tapi dia tetap harus berhati-hati.
Sesampainya di puncak tempat Saka sebelumnya duduki, Vanya terpana melihat hamparan air laut di hadapannya. Ombak yang pecah menabrak bebatuan, menimbulkan suara yang sebelumnya dia penasaran berasal dari mana.
"Pantesan kamu betah banget di sini," ucap Vanya, menoleh pada Saka di sebelahnya yang sudah kembali duduk. "Dingin tau, pake jaketnya."
Bukan menurut, Saka malah meletakan jaket itu di atas bebatuan dan menyuruh Vanya untuk mendudukinya.
Vanya memang duduk, tapi mengambil jaket itu kemudian ia peluk, aroma parfum Saka yang entah merk apa merasuk di hidungnya.
"Kenapa nggak lo dudukin, nanti celana lo kotor," protes Saka.
"Nggak apa-apa, bisa dicuci," balas Vanya, tatapannya mengarah ke depan, menghirup dalam-dalam udara malam yang cukup kencang menerpa wajahnya. "Kamu udah Sholat?" tanyanya setelah menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
Ficción GeneralSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...