Saka mengajak adiknya makan di kedai ayam bakar yang terkenal dengan sambalnya. Tapi bukan karena itu dia memutuskan makan di sana, melainkan karena harganya. Tempat itu lumayan ramai, tapi keduanya masih bisa duduk di dekat jendela dengan kipas angin yang menyala di atas kepala.
"Tumben makan di sini?" Ralia terlihat bingung dengan tempat pilihan abangnya, biasa mereka makan di restoran mewah meski dengan menu yang sama. Hanya saja kenyamanannya tentu berbeda.
"Nyobain." Saka bukan tidak pernah makan di kedai biasa seperti ini, tapi memang terbilang jarang sekali. "Di sini ayam bakarnya enak tau, rasanya sama kaya di restoran-restoran tempat kita makan," ucapnya.
Ralia mengangkat alis, namun tidak berkomentar lagi masalah itu. "Wajah Kakak masih sakit?" dia membahas hal lain.
Reflek Saka menyentuh sudut bibirnya yang masih sedikit nyeri. "Udah nggak sih, cuman bingung aja dia kuat banget ya, gue sampe pingsan."
"Dia mantan atlet tinju pas sekolah."
"Serius?"
"Hmm. Kakak nggak bisa macem-macem pokoknya."
"Lagian ngapain, abis minta maaf juga udah selesai urusan gue sama dia."
"Nggak mau kenalan lebih lanjut? Dia baik loh, Kak."
"Kalo dia baik nggak mungkin nonjok gue."
"Ya itu karena Kakak aja kali yang ngeselin."
Saka terdiam, dia tidak ingin membahas hal itu lagi. Tugasnya hanya meminta maaf, sudah itu saja. Jika tidak dimaafkan pun tidak masalah.
"Kak, tadi Pak Bondan nanyain Kakak, tau." Ralia bercerita.
"Nggak kenal."
"Asisten sutradara."
"Mau ngapain?" Bersamaan dengan pertanyaan itu, seorang pelayan mengantarkan pesanan mereka, Saka kemudian fokus ke arah meja.
Sembari mulai makan, Ralia bercerita bahwa Pak Bondan yang dia maksud itu mengenali Saka sebagai mantan aktor, dia lalu ingin mengajak pria itu untuk bekerja sama menjadi pemain dalam proyek film selanjutnya.
"Tapi aku bilang kakak sibuk, jadi nggak yakin bakalan mau."
Saka mengangguk, dia memang pernah menekuni dunia hiburan, dulu saat kuliah, tapi hanya iseng saja. Dia tidak berniat untuk kembali menggelutinya.
"Kak, aku beli tas sama temenku. Bayarin ya," ucap Ralia, jika biasanya sang kakak akan bertanya berapa harganya dan langsung mengirim uang setelahnya, kali ini berbeda.
"Perasaan tas lo udah banyak, beli tas lagi?"
"Yang ini lucu banget, Kak. Aku suka."
"Beli berang tuh bukan karena lucu, tapi butuh. Kalo nggak butuh buat apa."
"Cuma limabelas juta kok, nggak semahal tas aku yang Kakak bayarin sebelumnya. Masa nggak boleh." Ralia memanyunkan bibirnya tidak suka, mungkin berpikir kenapa kali ini pria itu sedikit berbeda. "Liat deh, lucu kan?" ucapnya setelah mengambil ponsel dan menunjukkan foto pada abangnya.
"Kecil banget, muat buat apa doang?"
Ralia kembali menatap foto di ponselnya, lalu beralih pada pria yang tengah makan di hadapannya. "Buat hape aku muat kok, sama lipstik satu. Dompet deh yang kecil."
"Nggak berguna, nggak usah dibeli. Tas kamu juga masih banyak yang lain." Saka memberi keputusan.
Ralia tidak bisa memaksa, jika pria itu tidak setuju dia memang tidak bisa berbuat apa-apa. "Kakak kenapa sih, aneh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sincerity (tamat di Karyakarsa)
General FictionSaka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membuktikan pada sang ayah bahwa dia mampu bertahan tanpa menyandang nama 'Dirgantara'. Di tengah kesulit...