Do you call yourself a fucking hurricane like me?
•
•
•Masalah dapat berkembang biak dengan cepat, layaknya virus dan terkadang sulit dijinakan namun mematikan.
Terlebih jika sudah menyebar dengan beragam varian.
Andai kepedihan memiliki rasa vanilla atau gelato green tea, bukan darah yang dapat membuatmu keracunan zat besi lalu mati.
"Itu bukan ulah kamu?!" cecar Ayah Domani, dirinya masih murka dan entah karena alasan apa.
Karena aku tidak jadi masuk penjara? FUCK.
Aku tersungkur di lantai ruangannya, menelan gumpalan darah di mulut karena hantaman tangan pria tegap itu.
Berusaha bangkit dan menatap punggung lebarnya yang berbalik badan dari posisiku.
"KAMU BISU?!!" sentaknya kemudian, setelah aku tak menjawab satupun pertanyaanya.
Karena aku sedang fokus membaca pikiran dan gelagatnya.
Namun Ayah meraih bahuku, membuat tubuhku sedikit berjinjit saat memandang wajah murkanya.
Ada sedikit kengerian. Batinku ingin memprotes dengan kalimat memelas. "Jangan pukul lagi."
Karena aku juga dapat kelelahan.
Tapi aku tidak pantas mengatakannya.
Aku tidak pernah pantas mendapat pengakuan itu ... dianggap sebagai manusia.
Perlu dikatakan lagi bahwa aku berbeda. Terlampau sangat berbeda dari anak-anak lainnya.
Kedua manik Ayah sangat sengit dan mengintimidasi. "Jawab bahwa kamu yang membunuh wanita itu!"
"Nggak."
Rahang pria itu tak kalah tajam dari sorot matanya, napasnya memburu saat aku menolak mengakui hal yang tidak diriku lakukan.
Darimana dia dapat asumsi bahwa aku telah membunuh wanita itu?
Atau haruskah aku melakukan hal serupa, kemudian memamerkan padanya agar pak tua itu bangga?
Ayah memalingkan wajahnya saat menyadari bahwa aku tengah menatapnya dengan remeh, meneliti setiap gerakan bibir dan helaan napasnya.
"Anak gak berguna!" kritiknya, menyingkirkan badanku yang menghalangi pintu keluar.
Dengan sekuat tenaga aku menahan tubuh yang hampir ambruk ke bawah meja, mengucek lebam di bawah mata yang sedikit perih.
Aku rasa, rumah ini tak jauh berbeda dari kehidupanku di kastil.
Aku belum bebas sepenuhnya.
Belum berhak untuk berbahagia.
Mungkin tidak akan pernah.
"Sayang, mau nonton film?"
Ajakan halus Mama tak lagi membuatku tersenyum, masih membeku di tempat semula sembari mengunci atensi pada wanita bergaun merah muda itu.
Aku bertaruh, ini pertama kalinya diriku melihat gambaran bunga dalam diri manusia.
Ku singkap uraian rambut kacau yang hampir menutupi wajah, menarik napas dalam saat sebelumnya sempat dibuat sesak napas.
"Mama cantik." Pujian kecil dariku membuat Lady Domani tersenyum sumringah, sangat cerah namun dengan mata berkaca.
Tak lama, cairan bening itu lolos dari pelupuk matanya. Aku rasa Mama menahan diri untuk tidak menangis di hadapanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
NINE : LOST MYSELF
Mystery / ThrillerTentang bagaimana seorang dengan gen psychopath memandang orang-orang di sekitarnya, lingkungan dan sifat yang sangat berbeda dan tidak efisien menurutnya. Nine, gadis manifulatif yang toxic.