11. FIRED UP AND TIRED OF

6 5 1
                                    


Let the bullets fly, let them rain
Seeing the beauty through the pain.


"Nine, awas!"

Mataku melebar saat piring yang Finn lemparkan melayang ke arahku, sontak merunduk dan mengikuti ekor jalur benda itu.

Tepat!

Mengenai wajah salah seorang pemburu.

Finn segera berlari padaku, melangkahi reruntuhan lemari dan pecahan barang yang berserakan.

Kita membuat kehancuran besar pada bisnis orang lain.

"Lo mau ngehajar gue?" sergahku padanya.

"Mau aja. Tapi gak sekarang," balas Finn, tertawa kikuk dibalik wajah kacaunya.

Menjengkelkan.

Untung tadi aku sempat menendang wajahnya, jadi amarahku pada Finn agak berkurang sedikit.

Aku memamerkan bantuan yang Atlas berikan, sesuai dugaanku respon Finn adalah curiga.

Ia tidak ingin mengambil resiko namun diriku tidak mau berdiam diri di sini dengan gelimpangan mayat dan kerusakan.

"Lo pastikan aja dulu. Mesinnya, bagasinya, bawah jok. Baru kita pergi," pintaku, lebih tepatnya memaksa.

Finn merotasikan bola mata lalu mendahului langkahku. "Oke, serah," pasrahnya.

"Toilet kiri," ujarku, menarik lengan jaket Finn yang malah berbelok ke bangunan sayap kanan.

"Tapi itu toilet cewe, bego!" protesnya.

"Lo bisa gak sih ngalah sama cewe?! iya aja, iya. Jangan nyolot."

"Iya ... gue salah. emang gue mau diapain."

Sudahlah, aku frustasi.

"Gue lelepin di closet, emang mau apa lagi," kesalku, berakhir memimpin jalan keluar. "Gak ada nafsu gue punya temen kayak lo, eneg."

"Sama," timpal Finn.

Aku menendang pintu toilet, niatnya mengalihkan emosi namun ternyata malah membuat kami terbungkam.

Ada dua orang berjaga di pintu itu.

Atlas sepertinya sengaja mengarahkanku pada mereka. Bajingan!

Aku menoleh pada Finn yang malah bersembunyi di belakang tubuhku. "Lawan anjir," sergahku padanya.

Dirinya membalas. "Duluan aja."

"Shit!"

Aku mengerahkan terlalu banyak energi hari ini, dan hanya mendapatkan asupan setengah porsi bakso. Namun itupun lenyap karena ulah mereka.

"Saya gak ada niatan nembak bocah, jadi pulanglah dengan kesadaran sendiri. Jangan membuat kami memaksa."

Mereka robot kah? aku sudah bosan dengan ocehan mereka yang terdengar serupa.

Pulanglah dengan kesadaran sendiri.

Benarkan, itu ulah Papa. Aku kira dia mati malam itu, ternyata masih sehat walafiat serta tetap jahanam.

"Bacot, kacung!" Itu suara Finn.

"Lo punya anak, om? tanyaku tiba-tiba, membuatnya mengernyit heran.

Ia tak menjawab. Tapi aku yakin jawabannya adalah Iya.

"Harusnya lo yang khawatir, Om. Soalnya hari ini mungkin gak bakal pulang," sambungku, terkesan mengancam.

Dalam satu detik kami saling memandang dari jarak dua meter, aku dapat merasakan langkah Finn yang perlahan menjauh.

NINE : LOST MYSELFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang