19. EVERYONE HAS DARKNESS

6 1 0
                                    

These voices won't leave me alone


Tak pernah berpikir bahwa aku akan mengenal banyak orang dalam hidup, mungkin kepalaku terlalu sempit untuk membayangkan betapa besarnya dunia.

Betapa banyaknya makhluk yang bangun dan tidur.

Serta berjalan di tempat.

"Nama gue Édouard Wolfhad Avery, panggil aja Èdo."

Ternyata lelaki itu siswa baru di Westminster, keluarganya pindah enam bulan lalu dari Prancis ke London.

Èdo mengatakan alasannya terbaring tak sadarkan diri di gang karena ulah Silas--salah satu kacung Byeodi di sekolah, kemungkinan ia dikeroyok.

Aku tidak aneh dengan ulah mereka yang anarkis, aku hanya tak terbiasa mendengarkan orang asing menjelaskan tentang dirinya sendiri.

"Lo bisa diem?" sergahku, terdengar agak sinis sampai membuat Èdo terkesiap dengan sebelah alis terangkat.

Matanya kemudian berkedip dua kali padaku, anggap saja itu sebagai jawaban iya.

Aku meneteskan cairan betadine ke kapas di tangan, kemudian mengusapnya pelan ke sudut bibir Èdo yang bisa dikatakan lumayan bengkak.

Ia meringis lalu sontak terbungkam saat sorot tajam mataku seakan membentaknya.

"Gini doang sakit," sindirku, tersenyum miring.

Jika saja lukanya parah, mungkin akan ku hantam dengan batu bata dan mengirimnya ke sang pencipta.

Aku rasa Èdo orang baik, aku belum merasa pantas melihatnya terlalu menderita di tanganku.

"Eh, sorry. Nama lo--" Aku menyelanya cepat.

"Judith," singkatku.

Dia adalah calon tikus penampil yang lumayan juga.

Kulihat Èdo memeriksa ponselnya, dia bilang. "Mau gue anter pulang?"

Memang sudah larut, hampir jam satu pagi dan sepertinya lelaki itu mencium aroma alkohol yang tipis dariku.

"Lo duluan aja, dicariin Mama nanti," timpalku.

Namun dirinya masih berdiam diri, menggaruk rambutnya kemudian melihatku lagi yang baru saja meniupkan asap rokok berbentuk cincin ke udara.

Èdo tersenyum manis, dan itu menggangguku.

"Malam ini ... lo berbeda ya," ungkapnya, membuatku menghela napas lalu melihat ke ujung gaun biru itu.

"Iya. Gue salah pake baju."

Aku membalas dengan spontan, tapi mungkin itu bukan maksud dari perkataan Èdo sebelumnya.

"Di sekolah lo kayak murid teladan biasa."

"Tapi ternyata punya sisi buruk ya."

Mataku berotasi dengan jengah, lalu menyodorkan rokok milikku padanya. "Ini gak buruk amat," ujarku.

"Merokok membunuhmu," tolak Èdo.

"Hm ... membunuhmu, bukan membunuhku," tandasku.

Anda mengirimkan sebuah photo untuk BEBAN GUE🐷

Anda mengirimkan sebuah photo untuk BEBAN GUE🐷

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 24, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NINE : LOST MYSELFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang