14. FLOWERS

5 3 1
                                    

I know the beauty don't comes without hurt.


Jika ini sebuah film horror, mungkin saja mayat wanita itu tiba-tiba terbangun dan menggigit tanganku yang perlahan menyusup ke dalam mulutnya.

Fuck! bisa saja sel kulit mati ku tersangkut pada giginya.

Aku mendapatkannya!

Dua batang bunga berwarna biru dengan kelopak yang sangat berbeda dari bunga biasanya, seperti anggrek yang aku lihat sekilas di rumah tetangga.

Tapi ... tentu saja bukan.

Jika iya, mungkin tetanggaku seorang pembunuh yang memiliki kebiasaan mengutil tangan orang.

"Amit-amit," decakku, berjongkok di samping wanita kaku itu.

Sebuah gulungan kertas kecil seukuran bungkus permen karet terikat oleh benang wol merah di sana.

Tertulis dengan tinta biru. "For my princess."

Apa kalian sama terkejutnya denganku? Itu hadiah ... untukku?

Alisku tertaut dengan herannya. "Gak banyak orang yang tau panggilan itu," decakku.

Memang benar, hanya penghuni kastil putih yang nekat memanggilku dengan sebutan itu. Aku sendiri membencinya.

I'M NOT PRINCESS!!

Terlebih, akupun tidak akan bahagia jika mendapatkan hadiah kejutan berupa mayat dapat koper begitu.

Ulah Papa?

Aku bertaruh, pria tua itu tidak segabut yang kalian kira. Dirinya tidak perlu iseng menakutiku dengan penuh teka-teki begini.

Papa anarkis tanpa kiasan. Dia akan lebih memilih untuk mengirimkannya langsung ke rumah, dan kadonya bukan berupa mayat melainkan para kacung bersenjata.

For your reminder, Papa telah melakukan aksinya kemarin pagi. Hanya saja aku selamat.

Dor!

"Kampret."

"Diam di tempat! angkat tangan ke atas dan jatuhkan senjata anda!"

Senjata? di tanganku hanya ada ranting pohon.

Aku berdecak, itu suara tembakan peringatan yang sangat keras dari aparat.

Tiba-tiba? kejutanku banyak sekali hari ini.

Perlahan menyelipkan bunga itu ke dalam kaus kaki, tubuhku lantas berbalik ke arah mereka.

"Sial, polisi beneran."

Aku kira sedang diprank.

"Anda berhak diam dan menunjuk pengacara."

...

Aku tidak tahu, posisiku saat ini terasa bukan sebagai saksi semata.

Tanganku masih terborgol di ruang interogasi, namun semua orang pergi setelah satu interupsi.

Pertanyaan yang terlontar padaku hanya sekilas nama dan umur, mereka belum bertanya tentang apapun di TKP atau tentang keterlibatanku.

Padahal otak ku telah bersiap untuk rentetan alibi indah yang tersusun megah agar lancar membantah.

Apakah ada nyanyian yang cocok untuk situasi seperti ini?

"Are you insane like me?
Been in pain like me?"

Aku memainkan kursi dengan mendorongkan ke depan dan ke belakang, bukan untuk mencari perhatian dari seorang detective yang baru masuk.

Dirinya berjalan ke arahku, ekspresinya garang sekali.

NINE : LOST MYSELFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang