02. HOME

19 8 4
                                    


Warning : Cerita ini tidak ada kaitannya dengan tokoh nyata atau siapapun di luar sana, pure hanya fiksi penulis.

***

Selama ini aku mengenal rumah sebagai sebuah tempat atau bangunan yang memiliki pintu masuk dan keluar.

Ada pula jendela untuk memandangi tanaman atau orang-orang dengan lebih aman, aku tahu bahwa itu rumah.

Sebatas itu.

Hanya saja pemahamanku tertukar dengan sebuah penjara. Tempat itu juga bisa membuatmu keluar serta masuk.

Lalu apa bedanya dengan rumah?

Kebahagiaan, kenyamanan, kasih sayang.

Aku memilikinya dari pemuda botak itu.

Apakaha Seven bisa menjadi rumahku?

Saat jam makan siang aku berlarian menuju ke arahnya, aku sangat senang saat itu sampai setengah berteriak di wajahnya. "Ada orang tua datang, mereka mau menjemputku!"

"Adopsi?" tanya Six, memastikan. Ia masih belum mengerti kalimatku yang kadang masih tidak jelas.

Di belakang asrama kami berkumpul, tujuh orang. Entah kenapa aku masih memikirkan nasib Five yang sepertinya tertangkap oleh para Papa.

Ia pasti menghabiskan hari yang lebih panjang sendirian, tapi setidaknya ia lebih dewasa dari pada kami yang hanya sekumpulan anak botak tanpa nama.

"Bertemu di sekolah Westminster?"

"Oke, Nine. Kita akan menyusulmu dan kembali bersama."

Ya. Aku bodoh dan terlalu polos.

"Aku ingin tahu nama apa yang diberikan pemimpin yayasan untuk kami."

***

Kami tidak tahu cara berbohong, para Professor tidak mengajarkan hal itu walau kadang mereka mempraktekannya.

Tapi aku rasa Papa sering berbohong. Hanya saja dengan bodohnya aku percaya semua hal yang keluar dari mulutnya.

Tapi masih ingat 'kan? bahwa aku bodoh.

Aku mengatakannya beberapa detik lalu.

Sudah hampir tujuh tahun lamanya dan aku belum mengetahui keberadaan Five, dirinya seakan tertelan bumi bahkan kastil itu telah habis terbakar walau masih terlihat agak kokoh dan gosong.

Setidaknya sempat masuk YouTube sebagai tempat uji nyali, aku yakin ada yang menemukan potongan tangan di sana.

Atau jantung ditoples acar timun.

Tapi ada satu hal yang aku dapatkan yaitu ... nama.

Judith Forsythe Adolphnie.

Ayah dan ibu angkatku kadang memanggil dengan sebutan Ju, aku rasa mereka juga malas memanggil nama yang agak esentrik itu.

"Selamat pagi, sayang," sapa wanita itu dengan senyuman cerah.

"Iya, mah," balasku, seadanya.

Tapi setidaknya namaku tak lebih memuakkan daripada menu sarapanku tiap hari. Mama selalu menyajikanku roti panggang, telur amburadul, sedikit bacon dan sosis, lalu disiram baked beans yang seperti muntahan kucing.

Crap! English breakfast.

"Makasih," ucapku.

Namun, setidaknya aku masih mampu menghabiskannya dengan senyuman tipis seperti boneka Annabelle yang berhantu.

NINE : LOST MYSELFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang