Seminggu sejak kejadian tersebut, Elvano terus menghindari Renata. Elvano lebih sering menghabiskan waktunya di kantor, bahkan saat sedang berada di dalam rumah. Elvano lebih memilih berdiam diri di ruang kerja.
Pikiran dan hatinya terasa kalut, entah mengapa sikap diam Renata membuat ia merasa terluka dan kecewa. Elvano terus merasa aneh dengan dirinya. Setiap malam ia tidak bisa tidur memikirkan hal tersebut, menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.
Prangg!.
Suara pecahan kaca membuat Elvano terkejut, tubuhnya secara reflek berlari ke sumber suara. Di sana ia mendapati Renata yang tengah berniat meraih pecahan kaca tersebut.
"Tetap diam di sana dan jangan bergerak!" Perintah Elvano. Ia segera berjalan menghampiri Renata, mengendong istrinya ke tempat yang lebih aman.
Elvano kemudian memastikan bahwa Renata tidak terluka. "Tunggu di sini." Setelah mengatakan hal tersebut, Elvano pergi membersihkan pecahan kaca tersebut, setelah selesai ia kembali menghampiri Renata.
"Apa yang sedang kamu cari?"
"Aku ingin memanaskan air untuk di minum sekaligus untuk kompres hangat." Renata terus menunduk, ia takut Elvano akan memarahinya habis-habisan karena membuat kebisingan di tengah malam.
Elvano hanya bisa menghembuskan napas pelan. Jelas sekali Renata terlihat takut padanya. Elvano merasa bersalah. Padahal dulu ia memang sengaja bersikap kasar agar wanita itu takut dan akhirnya menyerah pada pernikahan mereka, tapi lihatlah sekarang, Elvano malah merasa sakit. Hatinya seperti di tikam pisau saat melihat tubuh Renata yang gemetar ketakutan akibatnya.
Elvano berlutut di hadapan Renata, ia mengenggam tangan istrinya lembut. "Maaf," tiba-tiba saja kata itu meluncur dari mulutnya. "Maaf karena selama ini aku membuatmu ketakutan."
Sontak ucapan tersebut membuat Renata mematung, ia seperti terkejut tidak percaya dengan apa yang barusan di dengar oleh telinganya. Tangan hangat yang mengenggam kedua tangannya membuat Renata sadar bahwa hal yang ia dengar memang benar adanya, tanpa sadar air mata Renata mengalir begitu saja.
Melihat Renata yang menangis membuat Elvano makin merasa bersalah. Ia menghapus air mata yang mengalir di wajah Renata. "Jangan menangis, tidak masalah jika kamu tidak ingin mengatakan apapun tentang masa lalu kita, aku tidak masalah. Kamu bisa menceritakannya nanti ketika sudah merasa siap."
Selama satu minggu ini Elvano terus berusaha mencari jawaban, mengapa ia terus memikirkan Renata, wanita itu terus muncul di pikirannya, tidak perduli seberapa banyak ia menyibukan diri atau menghindar. Elvano terus melihat bayangan Renata.
Apalagi saat melihat Renata yang hampir terluka membuat Elvano ketakutan setengah mati. Elvano sadar, bahwa dirinya sudah tidak bisa menyangkal perasaan yang sudah tertanam di dalam dirinya. Bahwa ia telah jatuh cinta kepada Renata.
"Biar aku saja yang memanaskan airnya." Elvano pergi menuju dapur, tak berapa lama ia kembali dengan membawa segelas air di tangan kanan dan alat kompres yang di pegang di tangan kiri.
Renata menerima gelas tersebut dan meminum airnya perlahan sembari mengompres perutnya. Perlahan rasa perih di perutnya sedikit berkurang.
Elvano memandangi wajah Renata yang tampak sangat pucat menahan rasa sakit. "Aku akan menghubungi dokter, tunggu di sini sebentar."
Baru Elvano ingin pergi mengambil ponselnya, tangan Renata menarik baju Elvano. "El, tidak apa, aku hanya sedang datang bulan. Rasa sakitnya juga akan hilang sendiri nanti."
"Baiklah, kalau begitu ayo kita kembali ke kamar." Lagi-lagi Elvano kembali mengendong Renata.
"El, aku masih bisa jalan sendiri."
"Kamu tetap keras kepala meski tubuhmu sudah lemah begini." Elvano membaringkan tubuh Renata dengan hati-hati.
"El, kenapa alat kompresnya di ambil?" tanya Renata bingung karena Elvano tiba-tiba mengambil benda tersebut dari tangannya.
Elvano membaringkan tubuhnya di samping Renata. "Sudah kamu tidur saja, biar aku yang mengompresnya."
"Tidak apa, aku bisa melakukannya sendiri." Renata merasa tidak enak dengan Elvano. Ia tidak mau Elvano terjaga semalaman hanya untuknya.
"Berhenti keras kepala dan tidurlah."
* * *
Saat pertama kali membuka mata, Renata meraba-raba sisi kasur di sampingnya. Tidak ada siapapun di sana. Hanya menyisakan suasana sepi seperti biasa. Renata kemudian bangun dari posisi tidurnya.
Semalam, ia yakin bahwa semua yang terjadi adalah nyata, tetapi kenyataan bahwa tidak menemukan seseorang di sampingnya membuat Renata tersadar. Semua hanya mimpi belaka.
Renata meganggap, ia terlalu larut dalam ilusi yang diciptakannya. Tanpa sadar, air matanya kembali muncul tanpa permisi.
"Hey ada apa?" tanya sebuah suara yang membuat Renata tercegang. "Apa perutmu masih sakit?"
Elvano yang baru keluar dari kamar mandi, merasa aneh mendapati Renata yang kembali menangis. Rasa khawatir langsung menghampiri dirinya.
Spontan Renata langsung memeluk tubuh Elvano, tangisnya semakin kencang ketika berada dalam pelukannya. Tangan Elvano mengusap lembut punggung Renata, berusaha menenangkan istrinya.
* * *
"Sudah lebih tenang sekarang?" tanya Elvano memastikan.
Renata mengangguk pelan, wajahnya masih terus menuduk malu. Bagaimana bisa ia meleluk Elvano seerat tadi seolah jika dirinya melepaskan pelukan tersebut, Elvano akan langsung pergi meninggalkannya.
Elvano tertawa pelan, wajah Renata yang bersemu merah benar-benar sangat lucu. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang, kalau istrinya terlihat sangat mengemaskan.
"Kamu tidak ingin memelukku lagi? Aku merasa akan mati karena sesak napas tadi," goda Elvano, Melihat Renata yang terus salah tingkah menjadi hiburan tersendiri baginya.
Elvano kembali menarik Renata ke dalam pelukannya. "Kalau memang ingin, kamu bisa memelukku sepuasnya. Entah saat kamu merasa sedih, senang atau sedang marah. Kamu boleh memelukku kapan saja."
Renata terdiam cukup lama, kalimat yang baru di ucapkan oleh Elvano tadi, sama persis seperti yang dikatakan pria itu di masa lalu.
"El, dari mana kamu tau kalimat tadi?" Wajah Renata langsung tampak bersemangat. Apakah Elvano mulai mendapatkan kembali ingatannya.
"Entahlah, itu muncul begitu saja di kepalaku," jawab Elvano jujur, ia hanya mengatakan apa yang terlintas di pikirannya. "Apa aku salah bicara? Wajahmu tampak sedih."
Belum sempat Renata menjawab bunyi ponsel membuat perhatian keduanya teralihkan.
"Telepon dari Mika," ucap Elvano menyerahkan benda yang berbentuk persegi panjang tersebut kepada Renata. "Setelah selesai langsung saja ke dapur, aku sudah sangat lapar."
Sepeninggalan Elvano, Renata langsung menjawab panggilan sahabatnya dengan perasaan senang.
"Ren, besok kita pergi ke rumah Naira ya, udah lama kita gak ketemu," ujar suara seberang dengan mengebu-ngebu.
"Baiklah, aku akan meminta izin Elvano dulu."
"Ok, besok aku jemput ya," balas Mika dengan nada bersemangat.
Renata menutup telepon sembari tersenyum tipis. Ia merasa sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Mika yang selalu ada bersamanya. Di tambah lagi suami yang ia cintai mulai memperlakukannya dengan baik. Tentu saja itu sudah lebih dari cukup untuknya.
"Ren, aku sudah lapar!" rengek Elvano di balik pintu.
* * *
27 Oktober 2022
Akhirnya update juga setelah melawan rasa mager yang hinggap berhari-hari.
🤣🤣
Jangan lupa vote and komen ya chingu kalau kalian suka. Love love deh buat yg selalu setia menunggu update dari author yang rada-rada mager ini😆😆.
Kedepannya author akan semangat update lagi💪💪.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Buruk Rupa
RomanceElvano yang terbangun dari koma tiba-tiba di jodohkan dengan seorang gadis yang memiliki wajah yang cacat, tak cukup sampai di situ. Ternyata gadis itu juga buta. Malangnya Elvano harus menerima perjodohan tersebut karena ibunya yang terus memaksa d...