Twenty Four

6.9K 187 0
                                    

Sebelumnya, terima kasih semua, untuk doanya. Author jadi terharu🤭.

Love sekebon buat pembacaku😅.

Karena author lagi semangat 45. Jadi Double up deh🥰🥰

Jangan lupa follow akun, vote dan komen ya.

* * *

"El, kapan kamu bangun?" tanya Renata mengenggam tangan Elvano. Tangan yang begitu Renata rindukan selama ini. Bohong jika ia tidak ingin bertemu Elvano lagi, meski hatinya merasa sakit dengan perlakuan suaminya tetap saja hatinya tidak pernah bisa berbohong. Setiap kali Elvano terus datang dan memohon agar Renata kembali, rasanya ia ingin langsung berlari ke arah Elvano dan memeluknya.

Andai saja saat itu, Renata mendengarkan kata hatinya dan membuang semua sifat egoisnya, mungkin Elvano tidak akan terbaring lagi di sini.

Lamunan Renata berhenti ketika merasakam adanya pergerakan dari tangan suaminya. "El, kamu sudah sadar?" tanya Renata memastikan.

"Iya," sahut Elvano dengan suara yang masih terdengar sangat lemah.

Renata langsung bangkit pergi untuk memanggil dokter. Namun, tangan Elvano kembali mencegahnya. "Aku mohon tetaplah di sini."

"Tapi El, aku harus memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu," jawab Renata singkat.

Elvano tersenyum lega, ia pikir Renata pergi untuk menghindari dirinya lagi. Sebisa mungkin ia akan memanfaatkan kesempatan ini agar Renata terus berada di sisi nya.

Elvano kemudian menekan bel yang ada di dekat brangkar. Tak lama seorang dokter dan perawat masuk mengecek kondisi Elvano.

Tangan Elvano tetap mengenggam erat tangan Renata, ia tidak akan membiarkan istrinya lepas walau sedetik saja.

"Syukurlah, keadaanmu sudah membaik," ujar Rian setelah selesai melakukan pemeriksaan.

"Apa tidak ada luka serius?" tanya Renata lagi, ia sengaja bertanya kepada Rian kerena percuma bertanya hal tersebut kepada Elvano, pria itu pasti tidak akan memberitahunya dan mengatakan semuanya baik-baik saja.

"Untuk tangan kiri yang mengalami patah tulang, mungkin akan sembuh dalam satu bulan," terang Rian.

Tak lama muncul kedua orang tua Elvano yang langsung masuk begitu mengetahui anaknya sudah sadar, di susul Mika dan Soraya.

"Gimana nak, masih ada yang sakit?" tanya Diana khawatir.

Dipta menyengol istrinya. "Kayaknya udah sembuh, coba lihat tangannya enggak mau lepas."

Diana yang mendengar bisikan Dipta, menoleh mengikuti arah pandang suaminya. Ia tersenyum senang melihat hal tersebut.

"Ya udah Pa kita pulang sekarang," ajak Diana pada suaminya.

Renata yang ingin menghentikan mertuanya untuk pulang malah keduluan oleh Elvano. "Gak apa, Mama pulang aja, Elvano udah gak apa-apa."

"Tapi..." Belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Mika kembali mendahuluinya.

"Iya tante, ayo kita pulang." Setelah itu, semuanya pergi meninggalkan sepasang suami istri tersebut.

"El, kamu mau ngapain?" tanya Renata yang kembali merasakan pergerakan Elvano.

Elvano memposisikan tubuhnya untuk duduk. Ia masih setia mengenggam tangan istrinya. "Maaf," lagi-lagi hanya kata tersebut yang terus keluar dari mulut Elvano.

Rasa bersalah terus saja menghantui. Mengetahui bahwa penyebab kebutaan dan luka di wajah Renata adalah dirinya. Elvano terus mengutuk dirinya sendiri. Ingatan saat dirinya menghina istrinya, meninggalkan wanita itu kehujanan sendirian bahkan melakukan banyak perlakuan kasar.

Rasa nyeri langsung saja menjalar ke seluruh tubuhnya, ia benar-benar tidak tau harus berbuat apa sekarang.

"Tidak apa El, semua sudah berlalu." Renata kembali memamerkan senyum manisnya.

Tanpa basa basi, Elvano langsung memeluk tubuh isrinya. Ia menangis begitu saja. "Maafkan aku Ren, maafkan aku, harusnya aku mendapatkan hukuman yang lebih besar dari ini. Harusnya aku tidak perlu bangun lagi. Pria berengsek sepertiku memang tidak pantas hidup."

Mendengar perkataan Elvano yang terus menyalahkan dirinya, Renata melepaskam genggaman dan pelukan mereka.

"Tidak El, kamu melakukan semua itu karena ingatanmu hilang bukan karena kemaunmu." Renata berusaha menyakinkan Elvano. Toh, yang di katakannya memang benar. Bahkan dalam keadaan tidak ingatpun sebenarnya Elvano masih terus mencintainya.

Elvano menggeleng cepat. "Tidak, ini memang salahku, otak bodoh ini tidak mampu mengingatmu, pria bodoh yang tidak bisa mengingat cintanya."

Renata berusaha menghentikan Elvano yang terus memukul dirinya. "Tidak El, jangan menyakiti dirimu lagi. Hal ini malah membuatku semakin sedih."

Akhirnya Elvano berhenti memukuli dirinya sendiri, Renata kembali memeluk suaminya, membiarkan pria itu menumpahkan segala rasa sedih dan bersalah yang menumpuk di hatinya. Sembari menepuk pelan punggung Elvano.

Renata tersadar, bahwa selama ini, bukan hanya dirinya saja yang menderita, tapi Elvano juga sama. Bahkan mungkin pria yang berada di hadapannya ini jauh lebih menderita.

* * *

Tidak berapa lama, dua orang polisi datang menemui Elvano, mencari informasi terkait kecelakaan.

Elvano memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia alami, termaksud nomor plat mobil yang ia lihat sebelum si pengendara kabur.

"Baik pak, jika pelakunya sudah di temukan, kami akan langsung menghubungi anda." ucap salah satu polisi tersebut.

Setelah kedua polisi tersebut keluar, Renata berjalan mendekati suaminya. "El, ini sudah waktunya makan."

"Kamu juga belum makan kan?" tanya Elvano balik.

"Kamu dulu ya makan, nanti aku menyusul." tutur Renata, bukankah orang sakit memang harus di prioritaskan agar cepat sembuh.

Elvano tidak setuju, ia tidak mau makan jika Renata tidak mau makan sekarang. Akhirnya Renata mengalah percuma berdebat dengan Elvano, pria itu tetap saja keras kepala.

Sebuah ide muncul di kepala Elvano. "Ren, tanganku sakit, aku tidak bisa makan sendiri." Ia bahkan sengaja membuat suaranya semenyedihkan mungkin.

Renata merasa sedikit bingung, kalau tidak salah tangan yang patah sebelah kiri tapi kenapa Elvano bilang tidak bisa makan. "Kan tangan yang patah sebelah kiri," ujar Renata polos.

Elvano segera memutar otak untuk memberi alasan yang logis tidak mungkin kan dia bilang ingin makan di suapi Renata, bagaimana jika istrinya menganggap dirinya manja dan tidak mau berada di sampingnya lagi. "Masalahnya tangan kananku masih sedikit kebas dan tidak bisa mengenggam dengan sempurna, tapi kalau kamu keberatan, aku akan berusaha untuk makan sendiri."

Renata menghembuskan napas pelan, ia sebenarnya tidak merasa keberatan sama sekali, malah sebaliknya ia merasa sangat senang karena bisa merawat Elvano.

"Baiklah aku akan menyuapimu." Mendengar kalimat tersebut, Elvano langsung tersenyum penuh kemenangan. Tubuhnya menjadi ikut bersemangat. Ia tampak seperti anak kecil yang sedang antusias menunggu suapan dari ibunya.

"Tapi El, aku kan tidak bisa melihat, bagaimana jika suapanku malah meleset ke wajah atau ke hidungmu." Elvano tertawa pelan, benar juga yang di katakan Renata. Wajah istrinya yang tampak kebingungan terlihat lucu di matanya.

"Kan ada aku, mulai saat ini hingga seterusnya, aku akan menjadi matamu." Hampir saja tangan Elvano menyentuh wajah Renata, jika saja ia tidak ingat sudah beralasan kedua tangannya sakit, mungkin ia sudah mencubit pipi Renata gemes.

Renata kemudian menyuapi suaminya. Satu suapan untuk Elvano, satu suapan untuk dirinya, begitupun seterusnya. Tak ada yang berbicara membuat suasana semakin terasa canggung.

Malam semakin larut, seharian ini Renata sudah merawat Elvano. Jangan tanya bagaimana perasaan Elvano, ia merasa sangat senang. Elvano yang berusaha mempertahankan pernikahan mereka, kini menpunyai secercah harapan.

Pintu terbuka membuat kedua sejoli itu menoleh ke sumber suara.

"Renata," panggilnya sembari tersenyum.

* * *

Istri Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang