Disinilah Nadien sekarang, di dalam sebuah rumah yang denah ruangannya persis seperti rumah yang ia tempati sekarang. Yang membedakan hanya warna dinding dominan abu abu dan kuning gading, begitu juga dengan berbagai furniture dengan warna serupa.
Tak butuh waktu lama, ia segera menyusul Jivan yang sedang duduk manis di ruang makan bersama si pemilik rumah.
"Duduk Dien, ga usah malu - malu." Nadien mengangguk pelan mendengar perkataan Jivan, disisi lain ada Jidan yang sibuk bolak - balik membawa peralatan makan dan juga hidangan yang baru saja selesai ia masak.
Melihat itu, ia bangun dari duduknya berniat membantu. Namun Jidan yang baru saja selesai meletakkan piring di hadapannya, menggeleng.
"Duduk aja, udah beres."
Tak lama kemudian, Jidan datang bersama makanan kesukaan Nadien dan setelah itu ia pun duduk di samping kakaknya.
Pada saat itulah, mereka bertiga segera melaksanakan makan siang yang lebih pantas di sebut makan malam, karena saat itu jam sudah menunjukan pukul 18. 20 saat sesi makan sedang berlangsung.
"Nih request-an lo, makan yang banyak. Biar ga laper lagi, lo kalo laper galak soalnya." Ujar Jidan menyodorkan sepiring penuh sosis asam manis ke arah Nadien yang segera disambut dengan senyum manis.
"Makasih Jidan." Balas Nadien masih dengan senyum manisnya, meskipun ia sedikit kesal dengan kalimat terakhir Jidan.
Jidan berhasil dibuat melongo melihat Nadien yang tersenyum dengan manisnya.
"Tumben, biasanya sewot." Dalam hatinya terheran - heran, namun setelahnya ia mengerti kenapa gadis ini tidak meluap - luap seperti biasanya. Ia sempat melihat Nadien yang diam - diam mencuri pandang pada Jivan yang sudah sibuk dengan makanannya, dengan itu ia langsung tahu bahwa gadis itu sedang menjaga image-nya didepan Kakaknya.
"Oh iya, ceritain dong kok kalian bisa akrab banget gini." Ucap Jivan kemabli membuka percakapan.
Setelahnya meja makan yang terkesan sepi berubah menjadi ramai, berkat percakapan dua muda mudi yang saling berhadapan dan seorang lagi hanya menyimak acuh tak acuh.
Orang itu adalah Jidan. Ia hanya mengamati bagaimana Nadien terlihat antusias bercerita kepada kakaknya, tentang bagaimana ia dan Nadien saling mengenal. Mereka berdua sesekali tertawa berkat candaan yang dilontarkan kakaknya dan anehnya disambut dengan senang oleh Nadien.
Tidak seperti saat ia memberi candaan, gadis itu sering kali terbawa emosi bahkan beberapa kali terlepas berkata kasar.
Senyum dan tawanya tak pernah lepas saat berbincang dengan Jivan, membuat Jidan yang ada disampingnya lagi - lagi bertanya dalam hati. Apakah gadis ini, gadis yang sama dengan yang hampir menendang kakinya saat di tinggal dari lorong gelap.
Jidan berpikir demikian bukan tanpa alasan, ia seharian ini bersama dengan Nadien dan seharian itu juga ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bahwa sikap gadis itu sangat berbanding terbalik dengan yang ia lihat sekarang. Nadien yang sekarang ada di depannya ini sangatlah manis, nada bicaranya halus, bola matanya berseri - seri saat bertemu tatap dengan kakaknya.
"Lo bayangin kak, tiga jam lebih dia di tengah lautan sampah yang baunya minta ampun, ditambah cuaca lagi panas panasnya. Mukanya tuh udah sepucet itu loh kak, dia malah sok banget mau ngelanjutin nyari palet gue, padahal dia jalan aja harus gue papah." Jelasnya dengan semangat di sela - sela suapannya.
Jivan yang mendengarnya tertawa terbahak - bahak berkat cerita dan cara Nadien saat menceritakannya yang menurutnya sangat menggemaskan. "Emang iya sih, dia dari kecil anaknya ga tahan sama bau menyengat."
KAMU SEDANG MEMBACA
HAPPY SOON [JIHOON TREASURE]
FanficNadien's pov "Gue bingung deh sama nyokap lo, kalo mau anaknya mandiri tuh seharusnya lo disuruh ngekos ya, lah ini malah di kasih apart" "Ini gue bisa pindah unit aja ga si? ga tau apa ini tuh tengah malem" "Btw tetangga lo ganteng banget tau dien...