12. Nomor rekening

220 37 4
                                    

        Nadien mematung ditempatnya dengan sarung tangan karet berwana pink yang masih membungkus tangannya, hingga suara Jidan menarik paksa ia dari lamunannya.

"Nadien.."

"Dan, please jangan bilang kalo gue..."

        Belum sempat terselesaikan, Jidan segera memotong kalimatnya. "Bentar, lo tunggu dulu di sini."
Setelahnya Jidan berlari entah kemana, meninggalkan Nadien sendiri dengan rasa malunya yang meluap tak tertampung lagi.

         Gadis itu melepas sarung tangannya dan segera menenggelamkan wajahnya dibalik telapak tangan. Saking malunya, ia ingin menangis detik itu juga. Ia merutuki kebodohannya yang tidak bisa menangkap tanda - tanda yang di tunjukkan sepanjang hari ini, mulai dari mood yang berantakan hingga nyeri di bagian perutnya.

         Kenapa harus sekarang, seolah - olah dunia ingin menunjukan seberapa cerobohnya ia dihadapan pemuda yang baru ia kenal itu.

         Nadien masih menutup rapat wajahnya, sehingga ia tidak melihat Jidan yang tunggang langgang menghampirinya dengan sehelai kemeja hitam pekat di tangannya.

"Gapapa, ga cuma lo doang yang pernah ngalamin kaya gini." Jidan sudah kembali, ia melilitkan kemeja yang ia bawa ke pinggang Nadien. Dilihatnya Nadien yang masih menutup rapat wajahnya, membuat ia gemas sendiri. Ia pun menarik kedua tangan Nadien sehingga kini terpampang dengan jelas wajah gadis yang sedang menahan malu tak lupa juga bibirnya yang mengerucut.

"Ga usah malu, cuma gue yang liat."

"Justru itu, pasti abis ini lo makin gencer ngeledek gue."

"Ck, busuk banget ya pikiran lo ke gue. Dah, ayo pulang. Gue anter sampe depan pintu, tapi jangan keluar dulu. Kalo gue bilang aman ga ada orang, baru lo keluar. Oke!?" Nadien mengangguk pelan dan mengikuti langkah Jidan.

Di tengah langkahnya Jidan berbisik pada dirinya sendiri. "Pantes seharian ini marah - marah mulu."

"Gue denger ya." Nadien menyahuti dari balik punggungnya. Jidan tidak menanggapi, ia hanya terkekeh sebentar lalu membuka pintu di depannya.

"Aman." Ia memberi isyarat dengan tangannya, yang diberi isyarat justru terdiam membisu di tengah ruang tamu.

"Yeh malah bengong, ayo mumpung ga ada orang."

"Itu.." Raut kebingungannya membuat Jidan ikut berpikir.

"Itu apa?"

"Gue boleh minta tolong ga? sekaaaali aja." Entahlah, bagi Jidan kalimat itu sama sekali tidak terdengar seperti permintaan tolong. Lebih terdengar seperti paksaan pikirnya.

"Minta tolong apaan?"

"Gue lupa, kalo gue ga punya stok itu." Bodoh, itulah yang berulangkali Nadien ucapkan di dalam hatinya. Bisa - bisanya ia melupakan hal paling penting setidaknya untuk semua perempuan di muka bumi ini.

"Stok apaan?" Jidan kembali bertanya entah untuk keberapa kalinya.

"Pembalut." Sahut Nadien dengan amat sangat pelan, ia sudah tidak punya pilihan lain.Toh ia sudah terlanjur malu, jadi untuk apa ia pertahankan lagi rasa gengsinya. Dalam batinnya ia bersumpah serapah, kenapa kejadian memalukan terus saja terjadi seharian ini.

         Jidan jelas mendengarnya, tetapi ia bertingkah seolah tidak mendengar agar bisa menggoda gadis yang tingginya hanya sebatas dadanya. Menggoda Nadien adalah hal menyenangkan bagi Jidan dan ia rasa hal itu akan menjadi hobi barunya.

"Apaan, yang jelas kalo ngomong tuh."

        Nadien yang menangkap senyum yang terkesan meledek dari lawan bicaranya itu, memutuskan untuk mengurungkan niatnya meminta pertolongan.

HAPPY SOON [JIHOON TREASURE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang