°3°

2K 245 1
                                    

Selesai membantu menyiapkan bahan-bahan untuk kedai, Jeno mengajak Jaemin ke kamarnya. Jika biasanya ia akan membantu orangtuanya sampai selesai termasuk menatanya di kedai, mungkin khusus hari ini tidak dulu. Jeno merasa tidak enak pada Jaemin sebagai tamunya. Ia yakin kalau ia meneruskan pekerjaannya maka Jaemin juga akan mengikutinya. Jadilah Jeno meminta izin orangtuanya untuk selesai membantu lebih awal dan mengajak Jaemin berbicara di kamarnya. Kenapa kamar? Karena itulah tempat paling nyaman tanpa gangguan wadah berisi bahan masakan. Di kamar juga mereka lebih leluasa untuk berbicara. 

Sebuah kamar yang nampak sederhana. Luas ruangan yang hanya sebesar 5x5 m yang tidak begitu besar atau bahkan sangat kecil jika dibandingkan dengan kamar Jaemin. Tidak banyak barang disana. Ranjang kecil yang hanya muat untuk 1 orang. Sebuah meja belajar dengan buku dan alat tulis yang tertata rapi diatasnya. Lalu sebuah lemari dengan 2 pintu kecil. Dindingnya berwarna hitam dan abu-abu. Siapapun akan langsung tahu kalau pemilik kamar ini adalah laki-laki. Jaemin masuk setelah dipersilahkan oleh sang pemilik kamar. Langkahnya berjalan memutar, mengamati satu per satu benda didalam sana.

"Kau ternyata lucu juga" ucap Jaemin saat melihat foto Jeno kecil yang memegang sebuah boneka yang terpajang di dinding kamarnya. Jeno sendiri hanya duduk diatas kasurnya dan memandangi Jaemin yang masih sibuk mengamati.

"Jadi ada maksud apa kedatanganmu kemari?" tanya Jeno sudah mulai lelah menunggu.

"Apalagi memangnya? Tentu saja soal tawaranku kemarin" jawab Jaemin yang masih sibuk dengan benda-benda disana.

"Sebelum aku katakan rencanaku, aku mau bertanya dulu padamu. Kenapa kau menerima tawaranku?" tanya Jaemin.

"Jujur saja karena aku penasaran. Penasaran dengan rencanamu juga dengan dirimu. Kita berada di kelas yang sama tapi aku tidak mengetahui banyak tentangmu kecuali nama saja. Aku baru menyadari kalau ternyata kau begitu misterius" jawab Jeno jujur.

"Aku... bisa mempercayaimu kan?" tanya Jaemin ragu. Sebenarnya itu adalah pertanyaan bodoh karena bisa saja yang ditanya akan berbohong. 

"Aku ingin percaya padamu jadi kau juga harus percaya padaku" ucap Jeno. Jaemin mengangguk mendengar jawaban Jeno. Ia menghentikan aktivitas mengamatinya. Kini beralih beridiri di depan Jeno. 

"Kau sudah menjadi korban bully sejak kelas 10. Kau pasti lelah kan? Apa kau mau membalas mereka?" tanya Jaemin dengan serius.

"Ya. Aku memang lelah. Tapi untuk membalasnya... Jika aku melakukan kekerasan pada mereka itu artinya aku sama saja dengan mereka" jawab Jeno. Jaemin kembali mengangguk.

"Baiklah. Aku akan membantumu untuk membalas mereka. Sebagai gantinya, aku membutuhkan sebuah bukti bahwa tidak semua orang itu buruk. Tidak semua orang tidak bisa dipercaya. Setidaknya ada satu orang yang dapat dipercaya dan tidak menusukku baik dari belakang maupun dari depan" ucap Jaemin. Matanya terus menatap mata Jeno. Menggali kejujuran disana. Begitu ia menemukan sedikit saja kebohongan disana, maka Jaemin tidak akan melanjutkan ini dan memiih pulang.

"Ne. Aku janji tidak akan mengkhianatimu dan akan aku buktikan bahwa itu bukan hanya sekadar janji palsu" ucap Jeno mantap. Lagi dan lagi Jaemin mengangguk. Kali ini dia memutuskan kontak matanya. Jaemin mengambil kursi belajar Jeno dan menariknya agar dia bisa duduk tepat dihadapan Jeno.

"Apa rencanamu?" tanya Jeno.

"Membalasnya dengan membuktikan bahwa kau tidak pantas mendapatkannya. Tidak perlu memakai kekerasan karena aku juga tidak menyukainya" jawab Jaemin.

"Caranya?" tanya Jeno masih tidak paham. Sejak tadi Jaemin agak berbelit-belit. 

"Pertama-tama, lepaskan ini dulu" Jaemin mendekatkan kursinya. Tangannya melepas kacamata Jeno dengan lembut. 

Partner ~ NOMIN (GS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang