[H-27] Tamparan

878 66 0
                                    

Kertas putih jangan dicampur sama noda hitam, karena jika sudah bertemu akan menghasilkan kerusakan. Maka pertemukan mereka dengan hal-hal yang sudah terlanjur rusak. Itu lebih baik.

OoO

Ada banyak selisih, ada banyak jarak ada banyak perasaan. Tetapi hal seperti ini belum pernah ada dan belum pernah aku temui. Rasanya sangat sulit diucapkan, diperagakan bahkan digerakkan. Semua terkatup kian erat, terikat kuat lalu aku? Aku harus apa? Dan perasaan apa ini?

"Ula, apa lo benar-benar udah sembuh? Lo bisa jalan kencang kek dulu."

"Tentu, gue dipaksa untuk ngelakuinnya di rumah. Mereka semua menyebalkan, kalian juga," aku mengomel tak terarah, pada dasarnya Agnes memahami itu untuk dirinya. Senyum Agnes lagi dan lagi terbit, kali ini tampak sangat tulus dan terlalu sering, seolah dia mengatakan 'terima kasih masih hidup Ula' padahal, aku membenci keselamatan ini.

Lengan kiriku berdenyut, mengalihkan sudut bibir yang terangkat milik Agnes, aku menatap memperhatikan coretan di sana. Apa maksud dari angka ini? Kapan aku menulisnya? Atau.

Aku menoleh.

"Kenapa? Kangen lo sama gue?"

Jeko selalu datang, dia selalu ada bahkan hadir di setiap waktu ke mana pun aku berpijak, apa maunya setan satu ini? Dan apa maksud janji 30 hari itu.

"Ula, mmm..."

"Kenapa Nes?"

"Anu, apa lo bisa melihat hantu?"

"H-hantu-"

"Lupakan saja. Hehe, gue cuma asal nanya, soalnya waktu di rumah sakit lo selalu nunjuk-nunjuk ke arah pintu, seolah ada Jeko di sana. Ula, maaf. Bukan bermaksud menyebut nama-"

"Agnes," panggilku pelan, dia menoleh ke belakang seraya menjawab dengan sangat cepat. "Apa lo mau menemani gue bertemu Jeko setelah pulang sekolah?"

"I-iya, t-tentu."

"Terima kasih."

Melihat hantu? Hah, napasku tersembur kian kuat, pertama kalinya aku terbangun, masih teringat dalam benak ini bahwa ada dua orang yang tengah menatap dengan pandangan memerah. Mereka seperti ingin mencabik-cabik tubuhku penuh dendam, satu lagi. Laki-laki yang sekarang duduk di sampingku, bersitatap dengan netra tajam milik Jeko bahkan selalu mengikuti ke mana arahku melangkah. Hanya dia sekarang yang benar-benar bisa kulihat, tidak ada yang lainnya.

Kadang, dalam diam aku selalu saja berpikir, mungkinkah aku ini gila? Apakah selama ini aku berbicara sendiri seolah-olah Jeko memang bisa kulihat dan dia bisa kuajak berkomunikasi? Jika nyatanya aku bisa melihat makhluk yang tak bisa ditatap oleh sebagian orang, kenapa hanya Jeko, ke mana yang lain atau sejenisnya?

"Ngapain ke kuburan gue? Bukannya lo udah ngeliat gue di sini, bahkan setiap hari. Apa lo lupa, kita tidur di ranjang yang sama, mandi di kamar-"

Aku melotot padanya, entahlah. Jika Agnes melihat mungkin dia akan syok, siapa yang aku pelototi seperti gadis yang tengah kesurupan arwah di siang bolong.

"Maaf, gue gak perlu mandi, jadi gue gak akan pernah menginjak kamar mandi lo. Lagi pula, gue gak merasa bisa menginjak lantai."

"Alula."

Sudut netraku melirik dirinya yang mulai menoleh pada jendela luar. Terdengar lirih sekali sehingga degup jantung ini berpacu tanpa sebab.

"Kenapa gue bisa mati? Kenapa gue harus mati?"

OoO

Dari semua warna biru yang dihasilkan oleh langit, ada beberapa titik abu-abu yang mulai menampakan diri, seolah noda. Semakin lama semakin berkabut lalu berubah menjadi hitam pekat hingga menimbulkan perpecahan dan menghasilkan tetes tangis tak terbendung. Tujuan langit hanya satu, membuangnya. Noda tadi, harus dihapus dan dibersihkan. Seperti diriku.

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang