Kadang hal yang paling kau benci, disukai banyak orang.
OoO
Dia memanggil begitu kencang, bersorak seolah aku telah mati, mengguncang seakan tubuh ini sudah tak lagi bernyawa. Ribut sekali.
Dalam tunduk hembusan napasku terbuang kian habis, membiarkan hening membatasi antara meja makan dengan mereka.
"Akhir-akhir ini kamu sering ngomong sendiri, Ula. Ada apa? Ada yang mengganggumu?"
"Tidak. Aku hanya berhalusinasi."
"Kita ke rumah sakit-"
"Enggak Ibu," wajahku terangkat, memandangi wanita itu yang tampak tak tenang. "Aku baik-baik saja."
"Baik yang seperti apa sehingga bisa dibilang baik-baik saja?"
Sudut netraku bergerak pada Jeko. Hal baik seperti apa sehingga bisa dibilang baik-baik saja. Tak ada yang salah dari pertanyaan Jeko, yang jadi masalah kapan aku merasa duniaku baik.
Berawal dari dirinya yang memberikan dunia munafik itu padaku hingga berakhir dengan hari-hari menyakitkan dalam jangka waktu yang tak ada habisnya.
"Ikut gue! Katanya lo mau mati, kan? Gue tunjukin cara mati yang mengesankan."
Cengkraman Jeko terlalu kuat, tarikannya juga tak bisa kuimbangi. Dalam pelarian tak berujung aku terus mengikuti ke mana dia akan membawaku, hingga pada batas kelelahan gerak itu terhenti, jemari Jeko merenggang dan aku terdiam saat dengungan ombak bergema di depan sana.
"Pantai."
"Ayo."
Langkah kakiku terus maju, tapi hatiku menolak. Kenapa Jeko berbeda, kenapa Jeko berubah. Apa yang dia pikirkan kali ini, sebuah gertakan?
"Tunggu."
Jeko tak berhenti menarik, saat-saat air laut mulai menenggelamkan leherku, saat itu jugalah teringat semua kesakitan yang mungkin meluruh bersama genangannya. Semakin lama, aku tak bisa lagi bernapas, kakiku seakan ditarik semakin dalam dan dalam hingga memberontak rasanya sangatlah sulit.
"Jeko," kusebut namanya yang sekarang mulai menekan tubuhku untuk memenuhi air asin itu, memberontak pun tenaga Jeko tak bisa kulawan. Beberapa tegukan lolos hingga tenggorokan ini mulai terasa pahit, tapi Jeko masih membenamkan kepalaku kian jauh mungkin sampai napasku tak lagi berembus.
Di detik-detik berlalu, tidak. Menit, jam bahkan hari sudah terlewati karena ketika aku membuka mata, penglihatan ini bukan bertempat di sebuah kasur yang selalu kuhuni, tapi ranjang besar mewah miliknya.
"Sudah bangun Alula. Selamat berumur panjang."
OoO
Waktu selalu berputar mengitari langkahku, mereka enggan beranjak pada orang di sebelah, di depan maupun di samping. Sama halnya dengan kepedihan, selalu saja aku, aku dan aku. Apa engkau tak muak?
Ya, terlalu lelah bernegosiasi bahkan melibatkan nyawaku sekaligus, takdir tetaplah takdir, bagaimana kisah ini tertulis, aku tak akan mengetahuinya.
"Alula."
Langkah kakiku terhenti saat cengkraman Dion menguat. Berjarak sedikit dari sekolah, berdiri di bawah pohon rindang dan jalanan yang cukup ramai, di sana dia menatapku lekat-lekat tanpa kedipan.
"Lo udah gak waras, ya?"
Keningku mengernyit, apa maksud pertanyaan tiba-tiba Dion? Kenapa dia bertanya hal yang sudah jelas seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji 30 Hari [END]
Short Story"Wanita yang bekerja sebagai PSK tetap melahirkan bayi suci tanpa dosa! Ibu gue memang pelacur, bukan berarti bayi yang terlahir dari rahim itu seketika menjadi seorang pelacur! Sialan!"