[H-24] Pembenci

520 49 0
                                    

Meski dengan duri-duri tajam untuk sampai menemuimu Ibu, akan aku lakukan dengan senang hati. Lalu aku akan bertanya kenapa harus dengan cara hina ini aku lahir?

OoO

Redup membungkam penglihatan dalam kelam. Tubuhku dipeluk selimut tebal sedangkan lelaki ini, memiringkan tubuh menghadang padaku sehingga mau tak mau aku membeku, tak bisa bergerak karena dinding di samping menghentikan gerak itu.

"Jangan liat-liat gue, lo hantu."

Dia tak menjawab, Jeko hening sesaat sebelum satu jemarinya terangkat, membelai suraiku yang sama sekali tak bisa kusentak. Hanya sejuk melintasi tanpa terasa hangat dari tangan orang yang telah mati.

"Semakin gue pikirin, semakin gue gak habis pikir. Kenapa bisa jatuh cinta sama gadis jelek kek lo."

"Udah ceritanya? Sekarang tolong turun dari kasur gue, lo hantu dan lo gak butuh tidur, sialan."

"Kenapa lo benci Dion? Kenapa lo benci keluarga lo? Rasanya gue pengen tahu semua tentang lo, Ula. Semuanya."

Pernah sekali aku mendengar orang-orang berbicara. Sesuatu yang telah tertanam jauh di dalam sana, jangan dibongkar lagi, karena bisa menjadi bom waktu dan meledak kapan saja. Meski aku ingin hancur, aku hanya ingin hancur sendirian, jangan mengikutsertakan mereka, orang-orang yang menyayangiku. Jika memang ada.

"Dan kenapa lo benci gue?"

"Gue?" dia menunjuk dirinya seperti orang bodoh. Sebenarnya, kenapa Jeko tak mengingat apa pun.

"Sejak kapan gue benci lo, Ula?"

"Sejak pertama kali lo meneriaki nama gue. Alula Merta, gadis bodoh! Anak pelacur! Gue habisi lo sampai mampus!"

Tertarik sudut bibirku ke atas, menandakan senyuman singkat bersarang setelah melihat raut tak biasa dari Jeko, laki-laki yang semula berbaring di sisiku sekarang mulai bangkit untuk menyugar rambut hitamnya ke belakang. Dia tampak berpikir dan aku tak bisa mendengar pikirannya seperti dia padaku.

"K-kenapa gue bisa ngomong kek gitu? Pasti ada alasannya, kan?"

"Setidaknya bergunalah jadi hantu, Jeko. Cari tahu masalah lo sendiri, jangan bergantung pada orang lain," sentakku sambil mengatupkan netra mencoba diam.

Tidurlah putriku tersayang, tutup matamu dan terlelaplah dengan damai. Ibu di sini, di pembatas antara keredupan dan keindahan, antara kerinduan dan juga kegundahan. Ibu di seberang jalan ini putriku, jalan yang harus Ibu lintasi bersama duri-duri tajam. Percayalah sayang, ada banyak jalan menujumu, tapi jalan yang Ibu pilih justru penuh bara api.

Sayang, sudah besar dirimu, sangat cantik. Cantik sekali. Anakku ... maafkan Ibu.

"Ula, bangun. Ula, kenapa lo nangis? Mimpi buruk?"

"Ibu."

"Siapa?"

"Ibu datang, Ibuku."

Pada siapa tangis ini kucurahkan, pelukan siapa yang akan memberikan ketenangan, sia-sia sisa tetes air mataku tanpa bisa diseka oleh orang lain. Aku selalu sendiri, aku melakukannya sendiri dan bisa kukatakan kali ini, aku tak mampu sendirian. Tidak.

Deg...

"Ada gue. Lo gak sendirian, Ula."

Dia menyentuhku, dia merangkul tubuhku, dia... Dia Jeko, usapannya bukan lagi sesejuk es batu, melainkan sehangat api unggun di ladang luas, Jeko bisa melakukannya untukku, tapi.

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang