[H-13] Sebuah Ilusi

330 35 0
                                    

Bayangkan di setiap pijakan kakimu menumbuhkan bunga berwarna indah. Jadikan halusinasi itu nyata agar jiwamu sembuh.

OoO

Pada angin kubisikan beberapa kalimat lirih, berharap dibawa terbang hingga jauh ke langit, sampaikan juga pada Tuhan jika tubuh bahkan jiwaku sudah tak kuat. Semakin lama bergelayut bersama sakit dan juga kebencian orang-orang, membuat hatiku terbelah berserak.

Dulu Dion tak semengerikan ini, dulu Dion tak semenakutkan sekarang. Beranjaknya waktu, beranjak juga kepingan kasih dalam diri Dion.

Masih teringat saat Dion menekan tubuhku ke dinding, di sana dia berucap begitu menakutkan. Balas perasaannya atau mati secara perlahan. Satu hal yang perlu aku pastikan, bagaimana cara membalas perasaan orang yang sudah menghancurkan perasaanku?

"Kenapa Dion menyukai lo, Ula?"

Satu hal yang ingin aku tahu juga jawabannya. Apakah kebencian bisa mengubahnya menjadi perasaan suka, atau Dion bertingkah seperti Jeko padaku. Mendapatkan hanya untuk menyakiti. Akhirnya semua laki-laki sama saja.

"Gue memang sangat jahat setelah mendengar isi pikiran lo, tapi gue gak menyangka sama sekali bisa bersikap sejahat itu."

Saat suara Jeko menghilang dan digantikan dengan bel istirahat, saat itu jugalah napasku terembus kian kencang. Sedari tadi, ketiga orang di sana selalu berbisik pelan, seakan mengajak berbicara atau bercerita tapi selalu tertahan.

Hingga sampai pada meja kantin pun, mereka hanya diam membatu.

"Ada apa?" aku memulai pertanyaan yang membuat wajah Agnes terangkat.

"Ula, maaf. Kami melihatnya tadi-"

"Tak apa."

"K-kak Dion. Apa yang dia lakuin sama lo?" suara Tiana bergetar, dia gugup.

"Dion memang seperti itu, kalian gak usah khawatir."

"Pembohong! Lo nangis kek orang gila di jalanan, lo gemeteran sangking takutnya. Dan lo ngomong gak papa? Cewek gila!"

Kecap di meja, ingin sekali aku genggam lalu lemparkan pada laki-laki yang sekarang berdiri berpangku tangan. Mentang-mentang arwah tembus pandang, dia berbicara seenak jidat yang membuatku merasa muak.

"Alula. Selama ini, kenapa banyak banget orang yang menyakiti lo? Kenapa mereka berlomba membuat lo terluka, dari Jeko, Greya bahkan Kak Dion sepupu lo sendiri?"

Sampai sekarang aku masih ragu, benarkah dia sepupuku? Benarkah aku anak dari perempuan itu, adik dari Ayah Dion? Atau semua kebohongan semata. Karena terlalu banyaknya kepalsuan bersarang dalam hidupku, kebenaran tak lagi terlihat, aku sulit mempercayai apa pun di dunia ini termasuk anak berusia 10 tahun. Dulu, aku berbohong di usia itu.

"Entahlah," aku bergerak untuk bangun. "Aku mau pergi sebentar, sendirian."

"Alula, lo belum makan apa pun."

"Nanti aja, gue masih kenyang."

Lantai seolah tahu ke mana kakiku melangkah. Tangga di sekolah sepertinya sangat hapal tujuanku saat ini akan ke mana. Berbekal hantu di belakang, aku berjalan dari lorong menaiki tangga hingga sampai pada lantai paling atas sekolah. Bukan bunuh diri atau mati tujuanku, karena jatuh pun tak akan membunuh, hanya akan mematahkan beberapa tulang saja.

Kuhirup banyak-banyak udara di sana, sambil menutupi mata dan membayangkan betapa banyaknya bunga di sekeliling tubuh ini, menghasut pikiranku lalu mengubahnya menjadi satu senyuman kecil tanpa sebab.

"Indah."

Ilusi yang kubentuk sangat menakjubkan, halusinasi yang terjebak, begitu menyenangkan.

"Pernah dengar gak, kalau lo ngerasa sendiri, lo cukup membayangkan kalau mereka ada di sini. Kalau ngerasa sedih, lo hanya perlu pikirkan tempat paling indah yang selalu ingin lo kunjungi."

Mataku terbuka secara perlahan. Semenjak kehadiran Jeko, langkahku selalu ditemani, tegakku tak terlalu gamang. Tidak seperti dulu, saat-saat pelarian rasanya ada sebongkah hitam pekat ingin melumat habis tubuhku, menenggelamkan dalam kabut lalu terhempas jauh hingga menemui neraka.

"Udah jadi hantu pun, lo selalu di samping gue, Jeko. Bedanya, Jeko yang dulu suka memberikan luka, sedangkan Jeko yang saat ini mencoba memberi obat. Lo masih gentayangan kek gini apa karena rasa bersalah? Lo mau menghapus dosa-dosa lo sama gue?"

"Anggap aja benar. Karena waktu gue gak terlalu banyak, tinggal beberapa hari lagi dan saat hari itu tiba."

Pembicaraan Jeko terjeda, dia tampak menunduk enggan berucap. Cukup lama dia seperti itu hingga helaan napasnya terdengar cukup kencang.

"Gue gak tau akan ke mana? Apa gue akan langsung dimusnahkan?"

Entahlah. Aku mana paham tentang takdir Tuhan. Semua terencana dan kita hanya perlu menjalani hingga batas rencana itu.

Saat Jeko mulai bicara sambil menunduk, aku seperti bertemu Jeko sebelum kematiannya. Semua terasa kian nyata.

Jeko itu sama sepertiku, bedanya dia punya uang dan seorang Ayah tanpa Ibu, setidaknya dia bisa menikmati hidup tanpa perlu melibatkan laki-laki yang tak menganggap kehadirannya sama sekali. Jeko hidup dalam bayang-bayang kebahagiaan, nyatanya dia bergelut di balik penjara dan juga pengawal berdasi.

Ayah Jeko orang penting yang bergelut di bidang politik. Dan laki-laki seperti itu pernah bersujud di kaki gadis rendahan ini, haruskah aku mengubah momen itu menjadi catatan sejarah.

Jeko sang pemberontak, Jeko suka seenaknya, Jeko suka membuat ulah, Jeko preman. Dan mereka berhasil menyelesaikan dengan beberapa lembar kertas.

Bentuk kekesalan seorang anak tanpa kasih sayang, bentuk kemarahan Jeko tanpa perhatian, dan juga bentuk kebencian terhadap kenyataan yang mungkin dia terima mengenai Ibunya. Aku tahu karena dia memberitahu, entah semua karangan semata, atau ada kekeliruan lain di dalamnya. Jeko yang tahu.

"Gue sering dengar lo ngomong sendirian di atap. Kadang-kadang lo nyebut nama Jeko. Lo selalu nyebut namanya," laki-laki berambut ikal dengan seragam begitu rapi mulai bangkit dan mendekat. Mengambil benda dalam saku celananya lalu terulur padaku.

"Mau rokok?"

"Lo ketua kelas, kan?"

"Fino," dia menarik lagi rokok dalam genggamannya. Dia tinggi, dia manis dan dia sang juara di kelasku bahkan seseorang yang sangat disegani. Tapi aku jarang sekali memperhatikan dirinya, aku jarang berbicara dengannya, dan seperti sekarang ini. Seperti Fino, bukanlah Fino.

"Gue baru tahu ada sisi lain dalam diri lo."

"Lo juga harus tahu beberapa sisi dalam diri gue. Contohnya saat gue bisa melihat dia."

Tunjuk Fino tak salah, mengarah tepat pada Jeko yang berdiri di samping kananku. Saat aku menoleh, keterkejutan kita sama.

"Lo bisa ngeliat hantu?"

"Dia Jeko, kan?"

"I-iya. Tapi Jeko udah mati."

"Kenapa dia bisa mati?"

Bersama dengan pertanyaan itu, segumpalan asap membumbung naik ke langit, Fino membuangnya seraya mendongak menatap.

"Apa itu ada jawabannya?" kedua bahu Fino terangkat. "Apa yang lo lakuin, Fin? Gimana kalau guru tahu anak kesayangannya merokok di atap?"

"Selama lo diam. Mereka gak akan tahu."

"Bentar-bentar. Apaan tadi, dia bisa ngeliat gue?" aku mengangguk. "Dia juga bisa denger gue dong?"

"Fino. Lo bisa dengar suara Jeko?"

"Enggak. Cuma bibirnya doang gerak, suaranya gak kedengaran," Fino meneliti Jeko dalam-dalam. "Lo harusnya ke dukun, Ula, supaya gak ketempelan hantu."

"Hah?"

OoO

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang