Izinkan aku mati sebelum nyawa ini singgah lalu mengambil alih ragaku.
OoO
Jauh di ujung sana, benda kecil terapung tak tahu arah dan tujuan, ke mana arus membawanya, dia akan senantiasa pasrah. Hidup bukan tentang egomu dan juga keinginan dalam jiwa, tapi juga tentang menjalankan lalu menghilang dari dunia. Kadang, ada juga hal yang lebih suram daripada itu, seperti ini. Hidupku.
"Ayo pulang."
"Gue mau di sini beberapa jam lagi. Lo pulang duluan aja, gue bisa naik ojek atau angkot."
Aku mendongak pada Jeko, dia berdiri di hadapanku yang membuat pemandangan indah di depan sana terhalang.
"Gue halangin matahari."
Mataku memicing, kalau dia bisa membuatku tak bisa menatap laut, kenapa sinar matahari bisa menembus tubuhnya.
"Bisa minta tolong?"
"Apa?" Dion dengan sigap menjawab. Sedari tadi dia duduk di sampingku tanpa mau beralih.
"Gue haus."
"Tunggu di sini, gue beliin lo minuman. Ingat! Lo harus tunggu di sini."
"Iya."
Kenapa bersama Jeko lebih menyenangkan daripada Dion? Dulu sekali, aku benci berdekatan dengannya. Aku takut melirik mata tajamnya. Aku tak suka jika dia berjalan mengarah padaku. Sekarang, Dion tampak mengerikan dari jarak jauh sekali pun. padahal tempat indah ini memiliki kenangan paling buruk saat-saat bersama Jeko.
Mungkinkah karena Jeko sudah mati. Apa karena yang sekarang bukan dirinya sehingga Jeko tak akan mampu membuatku merasa sakit lagi, atau. Dia berbeda.
"Bisa minggir gak, gue ke sini mau lihat laut, bukan tubuh lo."
"Alula."
Deg..
Dia berjongkok di bawah kakiku, kedua lututnya bertumpu pada pasir lalu mendongak menatap. Dia Jeko, kerasukan setan apa sehingga dirinya bisa bersikap begitu mengerikan.
"Maaf. Entah apa yang gue perbuat sama lo di masa lalu, atau kesakitan apa yang lo terima dari gue tanpa bisa gue ingat. Untuk semua itu, tolong maafin gue. Rasanya sudah sangat terlambat ya, gue mengatakan ini setelah gue mati dan berkeliaran tak tahu arah. Semengerikan apa, Ula?"
Jika ditanya dengan pertanyaan yang berulang-ulang, otak bisa merespon lebih cepat dari biasanya, kejadian satu tahun yang lalu seolah terjadi hari kemarin. Kali ini, memoriku berputar tentang Jeko dan caranya menyakiti.
PLAK.
"Lo gadis murah! Nyokap lo murahan! Jangan berharap dapat cinta dari orang lain, goblok!"
PLAK.
"Lo lahir dari jalang, mana pantas dapat kebahagiaan!"
BRUK.
"Murahan, berani lo natap gue! Gue habisin lo, Ula!"
Satu tetes air yang enggan aku jatuhkan tertumpah begitu saja. Banyak yang disampaikan laki-laki ini padaku, tapi tak satu pun bisa kubalas dengan perkataan mau pun tindakan yang sama. Aku mengayunkan tangan, memukul dirinya, meremat jemari lalu meninju tepat pada wajah Jeko yang sama sekali tak bisa kusentuh. Kenapa? Harusnya hari ini aku bisa menghabisi Jeko dan menghajarnya babak belur.
Sialan!
"Ula, ada apa?"
Ada yang memukulku. Dia pernah memukulku, dia menjambak rambutku, dia mencaci dan menghina. Dia orangnya, Dion.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji 30 Hari [END]
Short Story"Wanita yang bekerja sebagai PSK tetap melahirkan bayi suci tanpa dosa! Ibu gue memang pelacur, bukan berarti bayi yang terlahir dari rahim itu seketika menjadi seorang pelacur! Sialan!"