[H-10] Tembok Tembus Pandang

282 39 0
                                    

Dicengkram oleh kenyataan jauh lebih sakit daripada dicengkram oleh imajinasi semata.

OoO

Hal apa yang membuat tubuhmu menggigil karena takut? Kecelakaan, diteror, atau karena seekor binatang? Bagiku, ketakutan terbesar adalah, hidup.

Semakin dicengkram oleh kenyataan, aku semakin bergetar sangking takutnya. Orang-orang itu seperti pedang, jangankan kalimat melalui mulut, tatapannya saja sudah sangat mematikan.

"Tangan lo kenapa?"

Dia memegang lenganku seraya meneliti. Dari beberapa menit yang lalu Fino melepas pelukan setelah bel pulang berbunyi. Aku terdiam di sana, ikut menatap bekas kuku Dion tadi pagi.

"Kenapa? Lo gak nyakitin diri sendiri, kan? Atau, ada orang yang ngelakuin ini?"

"Gak papa. Ini cuma jatuh."

"Luka jatuh gak kek gini, Ula."

"Ayo pulang."

Aku bangkit mengabaikan pertanyaan yang tak bisa kujawab, mau menjelaskan bagaimana pun juga, hasil luka dari kuku seseorang tampak berbeda dari luka biasa. Mau dilihat dari sisi mana pun, akan menemui keanehan yang lain.

"Kalau lo kesulitan, lo bisa minta tolong sama gue."

Aku melangkah mengikuti dari belakang, lorong sekolah sudah sepi, hanya ada beberapa yang terlihat sedang menunggu. Semakin jauh aku melangkah, semakin sulit rasanya mengejar Fino meski sejengkal jaraknya dariku. Dia benar-benar terlalu jauh untuk digapai.

Pemandangan pertama yang kulihat di kelas kosong itu.

"Dion?"

"Bolos? Kenapa? Pacaran?"

"Enggak!" aku beranjak, melintasi Fino yang tegak tanpa mengambil tasnya. Setelah meraih tas milikku, lengan Dion kutarik menjauh, tapi dia enggan pergi. "Ayo, lo jemput gue, kan?"

"Saya teman Alula, kak. Anda siapa?"

"Calon suaminya," jemari Dion terulur, sedangkan pengakuan itu berhasil membuka lebar mulutku. Sepersekian detik, kutepuk lengan Dion hendak menjawab namun, dekapannya di bahu mulai memberikan luka yang lain. Aku membeku.

"Oh, baiklah saya permisi dulu. Sampai ketemu besok Ula, jangan lupa jaket gue."

Aku menatap Dion yang menunduk memperhatikan jaket yang aku pakai, setelah punggung itu menjauh dan hilang, Dion melepas dekapannya.

"Gue gak akan nyakitin lo, Ula. Jadi gak usah ketakutan kek gini."

"K-kenapa lo masuk ke kelas gue?"

"Agnes bilang katanya lo bolos bareng cowok."

Lagi, aku bergeming di tempat, jemari yang melingkar di tengkukku mulai ia cengkram. Saat menunduk, hembusan napasnya bermain di telingaku.

"Mau cari cowok baru, atau mau cari perlindungan baru?"

Deg...

Perlindungan. Enggak, aku hanya butuh satu orang yang kuat agar mereka tak mengusikku, aku hanya butuh Fino agar aku baik-baik saja menjalani hidup. Aku tak ingin melibatkan dia apa lagi sampai melibatkan nyawanya seperti Jeko.

"D-dion. Gue gak tau, apa lo sudah berubah atau memang kek gini lah Dion yang sesungguhnya."

"Dari dulu gue memang kek gini, lo aja yang gak pernah peka."

"Gue takut," kutatap lekat mata yang mendekat padaku. Tanpa kedipan sehingga lelehan basah membanjiri sudut netra, bibirku bergetar, tubuh apa lagi. "Gue benci sekaligus takut sama lo, Dion," ungkapku padanya. Dion segera mungkin melepas lilitan jemarinya, ia usap wajah datar itu kasar sambil tertawa.

Janji 30 Hari [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang