Untuk pertama kalinya hujan tak hanya mendengar doaku, tapi juga membelaku. Karena tetesannya membasuh dan berbaur dengan tangisan.
OoO
Tuhan, bolehkah aku berbisik secara pelan-pelan tapi tolong sampaikan pada langit. Katakan padanya aku ingin pulang. Ke mana aja, asalkan pulang.
Tempatku tidak di sini, satu pun tidak ada yang mau menampung noda kotor ini. Jika sampah saja bisa didaur ulang, kenapa manusia sehina aku tak diberikan kesempatan untuk sembuh sedikit saja. Kenapa?
Berbaik hatilah. Sehitam-hitamnya kisah yang kujalani, putih masih menjadi warna paling indah yang selalu aku dambakan. Apa yang salah setelah lahir dari seorang pendosa, apa yang membuatku menjadi salah terlahir dari kehidupan wanita kotor itu? Apa?
Kutarik selimut menenggelamkan seluruh tubuh. Rasanya remuk, seolah luka-luka sayatan yang disirami asam.
"Tidurlah, gue di sini."
"P-pergi... Tolong pergi dari sini," aku bersembunyi di dalam sana, membenci siapa pun yang terlihat termasuk Jeko.
"Gue gak akan ninggalin lo, Ula. Gue akan tetap di sini."
"Jeko... Hiks, rasanya sakit sekali. Hati gue."
"Pukul gue, lo boleh lampiasin amarah lo sama gue. Tolong pukul gue, Alula."
"Jek-"
Pembicaraanku tiba-tiba terjeda. Rasanya seperti tersengat saat dia bisa menyentuhku, dia bisa memeluk bahkan mengusap kepalaku. Dia bukan Jeko, dia pasti bukan Jeko, tapi suaranya.
"Gue bisa menyentuh lo. Tolong lakukan apa pun yang membuat amarah lo hilang."
Perlahan, kusingkapi sebagian selimut, menampakan wajah sembab akibat menangis pada Jeko. Dia juga sedang menangis, preman ini terlihat aneh sejak pertama kali dia meluncurkan isak tangis karena aku.
Jemari ini terulur, mengusap lembut pipinya, sagat lembut hingga rasanya kian nyata. Semakin lama, turun lalu berhenti tepat pada dadanya. Aku bisa menggapai Jeko, aku bisa menyentuhnya aku bisa merasakan dada yang dulu pernah berdetak kencang di sana, entah karena dia mencintaiku atau karena dia membenciku, setidaknya degupan itu pernah aku rasakan.
"Gue bisa nyentuh lo, Jeko. Ini gak mimpi, kan?"
"Enggak."
"Jeko. Gue bisa nyentuh lo..."
Kuusap kasar wajah yang terasa sangat panas, kenapa ingin menangis lagi. Kenapa?
"Peluk gue."
"Ula. Gue..."
"Tolong peluk gue, Jeko."
"Apa bisa lo pake baju dulu."
"Oh. Maaf."
"Perlu gue ambilin?"
Aku menggeleng. "Tolong tutup mata lo sebentar, baju gue ada di bawah."
Kegilaan mana lagi yang harus aku jalani. Segila-gilanya dunia malam, duniaku paling tak masuk akal meski dibahas dari sudut mana pun.
Lihatlah anak di jalanan sana, terluntang lantung tak dapat makan. Coba jadi dia yang menjual diri untuk mengobati Ibunya atau untuk biaya hidup. Atau, jadilah seperti lelaki di sana, menjilat kaki para petinggi hanya demi sepotong paha ayam.
Bukankah lebih baik mati.
OoO
"Leher lo luka? Kenapa ditempeli plester?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji 30 Hari [END]
Short Story"Wanita yang bekerja sebagai PSK tetap melahirkan bayi suci tanpa dosa! Ibu gue memang pelacur, bukan berarti bayi yang terlahir dari rahim itu seketika menjadi seorang pelacur! Sialan!"