Terlalu sering diterbangkan untuk terhempas, lantai sudah menjadi sahabatku paling baik.
OoO
Pergilah jauh, menghindar dari semua tatapan mereka. Berlarilah sekuat tenaga hingga tak terlihat lagi punggung-punggung mereka. Hidupku bukanlah pelarian dan aku benci menghindari sesuatu yang tak harus dihindari.
"Mau gue temenin?"
Dulu tempat gelap membuat napasku sesak, ruangan sempit mengubah pandanganku pada rumah, bisa saja dinding-dinding ini bergerak maju lalu menimbun diriku sampai mati, semua berputar di otak lalu mengubahnya menjadi ketakutan yang paling nyata.
"Kenapa ingatan lo gak pulih-pulih, Jeko? Gue benci mempercayai semua ini kalau akhir-akhirnya sifat lama lo terulang."
"Andai gue ingat, apa gue bisa menyakiti lo, lagi. Jangankan untuk menggoreskan luka, nyentuh lo aja gue gak bisa, Ula."
Untuk detik selanjutnya, pikiranku kembali terpecah. Kupeluk erat lutut lalu menutup mata rapat-rapat. Adakah kematian yang dihasilkan oleh gelap?
"Pergi, gue gak mau lihat muka lo, Jeko."
"Ke mana? Gue gak punya tempat lain selain di sisi lo."
Aku menoleh padanya yang setia duduk di sampingku, di dalam gudang tak berpenghuni.
"Dulu kedatangan lo bukan untuk menetap, Jeko. Tapi melampiaskan amarah dan juga memberikan luka di tubuh gue. Sekarang lo bilang gak punya tempat selain di sisi gue? Jangan bercanda, anjing! Jadi hantu gak seenak jidat lo aja."
"Beginikah rasanya terbuang?"
Jantung ini tiba-tiba bergemuruh kencang. Terbuang? Ada lubang besar di dalam sana yang terlihat kosong, pertanyaan itu tak akan selesai meskipun lubang itu dipenuhi oleh ribuan jawaban.
"Mati tak benar-benar mati. Hidup tak benar-benar hidup. Gue ini apa, Alula?"
"Hanya cangkang kosong."
OoO
Secarik kertas lusuh pernah kuterima dari seseorang. Bagaimana cara membaca sumpah serapah dalam setiap baitnya. Bagaimana cara mempelajari teknik membenci dari orang yang menulis semua itu.
Entahlah, kadang menerima semua rasa sakit setiap harinya, bisa membantu menguatkan mental dan juga hati.
Aku melangkah beriringan, menendang pasir lalu bergandeng tangan. Mereka sahabat-sahabat terbaikku, sahabat kesayanganku, sahabat yang tak akan mungkin menyakiti. Yah, dulunya aku pikir begitu hingga kenyataan lain membungkam semua rasa bahagia ini, aku memendam kian dalam, berharap mereka tak menyadari kalau aku tahu agar masih bisa kuanggap sebagai orang yang begitu penting.
Jika kalian berpikir bahwa aku manusia paling bodoh yang setiap hari memikirkan mati, maka kalian perlu menjadi diriku sekali saja.
"Alula... Alula."
Aku terbangun dari lamunan panjang. Melirik Dimea yang tersenyum padaku, senyum yang... Terasa menyesakan.
"Kenapa, lo?"
"Gak papa."
"Pulang sekolah mau mampir ke pantai. Lo kan suka banget ke sana."
Aku sudah pergi, tapi untuk pergi lagi, apakah kebencian tahun-tahun yang telah terkubur bisa menyeruak kembali?
"Akhir-akhir ini gue cuma pengen tidur di rumah."
"Yah, padahal kami berharap lo ikut."
Aku menunduk dalam senyuman. Setiap kali gerak bibirnya terlihat, aku hanya berharap ucapan itu terdengar baik, tubuh ini bergetar tanpa sadar hanya menatap seseorang yang akan berbicara denganku. Bagaimana jika salah satu kata-kata mereka berakhir pada, menyedihkan, menyakitkan dan segala hal buruk lainnya.
"Ula, kami dari tadi berteriak memanggil lo, kenapa lo diam aja!" aku bahkan tak mendengar apa pun selama satu jam terakhir. "Alula, kami di sini. Kami akan menjadi sahabat lo," hari di mana Greya menyeretku penuh kebencian, mereka mundur lalu bersembunyi di balik dinding. "Jaga bicara lo, sialan! Mau gue retakin mulut lo!" kenapa sudut bibirnya tertarik untuk memberikan senyum.
"Alula, andai aja gue bisa membaca pikiran mereka, gue pasti akan ngasi tahu lo segalanya. Maaf, sekali lagi gue gak bisa lo andelin."
Hingga akhirnya, orang yang paling dekat denganku, orang yang paling menyakiti hingga penyebab kehancuranku. Tetaplah Jeko.
"Ula, jangan sakit lagi."
Aku tidak akan sakit lagi karena aku ingin lenyap. Suara mereka terlalu berisik, seolah-olah aku memang penting baginya. Toh semua ucapan kadang tak sesuai dengan isi pikiran mereka, aku perasa sekali, sebab. Setiap kali pembicaraan baik terucap, jiwaku terguncang.
Semua menjadi serba salah.
Kuremat erat tali tas dengan langkah yang besar, terlihat wajah Jeko di sisi kiri, ikut berjalan mengikuti seperti seorang teman. Layakkah aku memberi senyum pada arwah yang tak tampak?
"Dia," aku menunjuk laki-laki di depan sana, mereka berdua terdiam sambil memandangi dalam-dalam. "Papa lo, Jeko. Lalu siapa wanita di sana?" aku menoleh pada Jeko yang terdiam tak bergerak. "Apa dia yang lo sebut menghancurkan mental Mama, lo? Kalau benar, berarti-"
Pembicaraanku terjeda, kulangkahkan kaki semakin dekat, hingga berjarak sejengkal sorot matanya turun padaku.
"K-kamu, Alula?"
Deg...
Tidak, jangan kali ini Tuhan. Tolong katakan jika di hadapanku bukanlah takdir yang telah engkau gariskan, bukan keinginan hatiku jika semua kenyataan memang berputar di sini. Gelengan kuat terlihat, aku memberontak.
"S-saya-"
"Alula maafkan saya, ampuni saya Alula."
Laki-laki dengan balutan jas di tubuhnya, wajah tampan bahkan tampak beribawa, seseorang kaya raya tanpa celah. Dia, laki-laki yang pernah dipanggil Papa oleh Jeko, bersujud di kakiku, mengatupkan kedua jemari sambil menangis memohon.
"Karena saya Jeko berbuat seenaknya saja denganmu, menghancurkanmu bahkan masa depanmu. Maafkan saya yang tak bisa menjadi orang tua yang baik. Maafkan saya."
Dunia seakan berputar-putar di sisi kiri dan kanan hidupku. Kejadian seperti sekarang pernah aku rasakan tapi bukan orang tua Jeko. Mereka memohon ampun dengan kejadian yang berbeda, haruskah aku menyebut semua ini keberuntungan atau justru sebuah musibah.
"Tolong bangun, Tuan. Saya sudah memaafkan Anda."
"Alula, setidaknya lo tanyain sama bokap gue kenapa dia meminta maaf sambil bersujud. Lo harus nanya-"
"Saya tak ingin tahu alasan apa yang membuat Tuan memohon ampun sampai mempertaruhkan harga diri Tuan seperti ini, tapi-"
"LO GILA! JANGAN BODOH ALULA!"
Dia bergerak lalu berdiri di hadapanku, tatapan Jeko tampak sangat marah. Tapi ada beberapa hal yang membuatku tak ingin berakhir begini, aku tak mau mendengar alasan yang akan membuatku menyesal jika semua ada sangkut pautnya dengan Jeko.
"Apa nak. Saya akan memberitahumu apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Siapa wanita ini? Apa dia Mama Jeko?"
"Bukan. Dia istri kedua saya."
"Maaf kalau saya lancang," aku menunduk sebelum memulai lagi pertanyaan. "Apa pernikahan kedua Tuan terjadi setelah Mama Jeko meninggal?" dia mengangguk yang membuat napasku terembus tak tenang.
"Apakah sebelumnya-"
"Tidak, Alula. Semua salah paham. Saya tak mengenal orang tua kamu, apa lagi perempuan yang dibilang Jeko sebagai Ibumu."
Jemariku terentang, aku memintanya diam. Sepersekian detik, lemah mengurung seluruh persandian dan jatuh pilihan yang sangat tepat.
"Jelasin... Tolong jelasin sama gue semuanya kalau nanti lo ingat segalanya, Jeko."
OoO
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji 30 Hari [END]
Short Story"Wanita yang bekerja sebagai PSK tetap melahirkan bayi suci tanpa dosa! Ibu gue memang pelacur, bukan berarti bayi yang terlahir dari rahim itu seketika menjadi seorang pelacur! Sialan!"